Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 21 April 2014

TAJUK RENCANA: Memaknai Hari Kartini (Kompas)

KITA  kembali memperingati Hari Kartini pada 21 April dengan memaknai ulang dan mengangkat kembali isu-isu perempuan Indonesia kini.
Kita mengingat Kartini sebagai tokoh awal perjuangan emansipasi perempuan. Dia berangkat dari pengalamannya sendiri sebagai anak bupati di Jepara. Kartini mendirikan sekolah bagi anak perempuan dan mendorong perempuan mandiri secara ekonomi agar dapat menentukan nasibnya dan anak-anaknya jika keadaan tidak memungkinkan.

Keadaan perempuan Indonesia kini jauh berbeda dari saat Kartini lahir 135 tahun lalu hingga meninggalnya pada usia 25 tahun. Namun, bukan berarti tidak ada lagi masalah di ranah publik maupun pribadi. Kita bisa melihat belum terpenuhinya hak asasi perempuan melalui tingginya angka kematian ibu (AKI) melahirkan.

Telah berlalu 110 tahun sejak Kartini meninggal karena melahirkan. Pemerintah mengklaim telah melakukan berbagai upaya menurunkan AKI. Nyatanya angka AKI justru meningkat tajam. Tahun 2012 AKI menjadi 359 per 100.000 kelahiran hidup, naik dari sebelumnya 228.

Situasi tersebut memperlihatkan persoalan struktural dan kultural dalam upaya menghapus diskriminasi terhadap perempuan. Secara struktural pemerintah perlu mengevaluasi kembali program penurunan AKI sebagai bagian dari komitmen Tujuan Pembangunan Milenium yang akan berakhir pada 2015, dengan target AKI 102.

Otonomi daerah justru melahirkan diskriminasi terhadap perempuan. Komnas Perempuan memantau, hingga Agustus 2013 ada 342 peraturan daerah yang mendiskriminasi perempuan. Jumlah itu meningkat dari 282 perda pada tahun 2012 dan 207 perda pada tahun 2011.

Sebanyak 265 dari 342 perda langsung menyasar perempuan, sebagian besar mendasarkan pada moralitas yang sangat dipengaruhi budaya. Perda-perda tersebut membatasi hak asasi perempuan melalui pengaturan cara berpakaian, pornografi dan prostitusi yang menyudutkan perempuan, hingga larangan keluar malam.

Ironisnya, lembaga-lembaga negara terkait di tingkat nasional tidak bersikap tegas membatalkan perda-perda yang jelas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Lagi pula Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Kementerian Hukum dan HAM telah menyusun parameter mengenai hak asasi manusia dan jender.

Jelas penurunan AKI, seperti juga penghapusan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, tidak dapat diselesaikan parsial, tetapi harus melibatkan semua pemangku kepentingan.

Pemerintahan saat ini dan yang akan datang harus menaruh perhatian sungguh-sungguh pada situasi perempuan. Tidak ada pembangunan berkelanjutan tanpa mengikutkan perempuan secara setara. Masyarakat dunia akan ikut mengawasi komitmen Indonesia dalam menghapus diskriminasi terhadap perempuan.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006179949
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger