Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 21 Maret 2016

Dinamika Global Berlanjut (A TONY PRASETIANTONO)

Dinamika perekonomian global masih berlanjut. Ekonom pun kini kian sulit untuk memprediksi secara akurat apa yang akan terjadi ke depan. Kian banyak ramalan menjadi tidak valid. Termasuk Kepala The Fed (Bank Sentral AS) Janet Yellen, misalnya, semula memproyeksikan suku bunga acuan akan dinaikkan empat kali sepanjang 2016 sehingga suku bunga acuan setidaknya 1 persen pada akhir 2016. Rencana ini hampir pasti batal. Suku bunga The Fed pekan lalu ditahan tetap 0,5 persen.
JITET

Bukan sekali ini Yellen membuat proyeksi seperti itu. Pada akhir 2014, ia mencanangkan rencana kenaikan suku bunga pada 2015 hingga mencapai 1,25 persen pada akhir 2015. Langkah ini diperlukan untuk melakukan normalisasi suku bunga di AS. Sebab, jika rezim suku bunga nyaris nol persen terus berlanjut, likuiditas dollar AS yang bertambah 4,5 miliar dollar AS selama periodequantitative easing (2009-2013) akan berujung kontraproduktif berupa tindakan spekulasi. Ini harus dihindari. Karena itu, likuiditas dollar AS pun harus ditarik kembali melalui mekanisme kenaikan suku bunga.

Namun, rencana Yellen tak berlangsung mulus karena dinamika ekonomi yang besar dan tak terduga. Siapa sangka perekonomian Tiongkok kini mulai meredup dengan pertumbuhan ekonomi 2016 diprediksi hanya 6 persen, bahkan mungkin kurang? Penyebabnya adalah upah tenaga kerja yang meningkat—ini logis karena pendapatan per kapita sudah mencapai 9.000 dollar AS, bahkan 11.000 dollar AS di Shanghai dan Beijing—serta belanja infrastruktur yang banyak berkurang.

Saya pernah berdiskusi dengan ekonom top Tiongkok, Profesor Justin Lin, di Sydney (2009). Mantan Ekonom Kepala Bank Dunia ini mengatakan, perekonomian Tiongkok akan tetap tumbuh tinggi karena Pemerintah Tiongkok tidak pernah kekurangan akal untuk membangun infrastruktur. Namun, pernyataan ini sekarang mulai tidak valid. Sejak beberapa tahun terakhir, Tiongkok mulai dihinggapi kelebihan pasokan infrastruktur dan properti. Belanja infrastruktur yang sebelumnya mencapai 8-9 persen terhadap PDB kini mulai berkurang banyak.

Akibatnya, Tiongkok seperti kekurangan daya dorong pertumbuhan ekonomi. Itulah sebabnya, pertumbuhan ekonomi tahun ini diperkirakan bakal rendah. Melandainya pertumbuhan ekonomi Tiongkok akan memberikan dampak ke seluruh dunia karena mereka merupakan kekuatan ekonomi nomor dua di dunia setelah AS.

Janet Yellen pun mulai berhati-hati dalam mengelola kebijakan suku bunganya. Fedrate yang dinaikkan dari 0,25 persen menjadi 0,5 persen pada pertengahan Desember 2015 tidak jadi dinaikkan. Bahkan, Yellen mengisyaratkan suku bunga Fed hanya akan naik dua kali selama 2016 dari rencana semula empat kali.

Selain faktor kinerja perekonomian Tiongkok, Yellen juga belum puas dengan data inflasi. Inflasi AS saat ini cuma 1,2 persen, atau masih di bawah target 2 persen. Mantan Kepala The Fed Ben S Bernanke menulis ("The Courage to Act: A Memoir of A Crisis and Its Aftermath", 2015) bahwa inflasi AS yang terlalu rendah itu berdampak sama buruknya dengan inflasi tinggi. Dengan kata lain, AS kini sedang "rindu inflasi", butuh inflasi yang lebih tinggi.

Dalam batas tertentu (2 persen), inflasi diperlukan untuk memberikan insentif terhadap dunia usaha. Selanjutnya, hal ini juga akan memberikan insentif bagi pekerja untuk menerima gaji atau upah yang lebih tinggi. Bayangkan jika harga produk, gaji, dan upah dari tahun ke tahun stagnan, hal ini tidak memberikan semangat bekerja yang lebih tinggi. Itulah sebabnya, The Fed akhirnya memilih untuk tidak menaikkan suku bunganya pada pertemuan pekan lalu.

Belanja infrastruktur

Kebijakan suku bunga AS tetap rendah memberikan ruang bagi penurunan suku bunga di Indonesia. Karena itu, Bank Indonesia berani menurunkan suku bunga acuannya menjadi 6,75 persen. Berarti dalam tiga bulan pertama 2016, BI telah menurunkan suku bunga hingga 0,75 persen. Selain faktor The Fed, BI juga mendapat insentif dari derasnya modal asing ke Indonesia hingga Rp 46 triliun dalam 2,5 bulan pertama 2016. Inilah alasan rupiah menguat ke Rp 13.000-an per dollar AS, dan cadangan devisa terus meningkat di atas 105 miliar dollar AS.

Meski demikian, IMF menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 5,3 persen menjadi 5,1 persen. Saya pikir IMF tetap melihat bahwa salah satu persoalan terbesar Indonesia saat ini ada pada sisi fiskal. Kombinasi antara target pajak tinggi yang sulit dicapai dan belum pastinya UU Amnesti Pajak menjadi salah satu poin lemah yang mengurangi kredibilitas pemerintah untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi.

Kredibilitas pemerintah tak cuma dipertaruhkan dalam menyusun target-target fiskal. Angka-angka kuantitatif lain juga layak dipertanyakan. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, misalnya, juga mencanangkan kebutuhan pendanaan infrastruktur Rp 5.500 triliun hingga 2019. Berarti, setiap tahun diperlukan belanja Rp 1.100 triliun, yang mesti "dikeroyok" oleh APBN, APBD, BUMN, swasta, maupun skema kerja sama pemerintah dengan swasta (public-private partnership). Saya duga angka ini merupakan kondisi yang "super ideal" untuk keluar dari ketertinggalan infrastruktur kita. Namun, realistiskah angka itu? Tidak.

Di kalangan ekonom dunia terdapat semacam kesepakatan bahwa negara-negara emerging markets, seperti Indonesia, seyogianya membelanjakan dana untuk infrastruktur sebesar 5 persen terhadap PDB. Karena PDB Indonesia tahun ini sekitar Rp 12.000 triliun, belanja ideal infrastruktur kita mestinya Rp 600 triliun per tahun.

Tentu saja sangat baik jika pemerintah bisa menggenjotnya hingga Rp 1.100 triliun per tahun, atau 9 persen terhadap PDB. Namun, apakah masuk akal? Padahal, selama ini belanja infrastruktur kita hanya 2,5 persen terhadap PDB. Bisakah loncat dari 2,5 persen menjadi 9 persen? Menurut saya mustahil meski ada negara yang pernah bisa melakukannya, yakni Tiongkok.

Tiongkok adalah negara yang paling hebat di dunia dalam membangun infrastruktur, dengan belanja mencapai 8-9 persen terhadap PDB. Sementara negara-negara maju, seperti AS dan Eropa, belanjanya hanya 2 persen terhadap PDB karena mereka kebanyakan hanya memelihara fasilitas yang sudah ada dan relatif sedikit yang membangun baru. Tiongkok tampaknya mulai memasuki tahap penurunan belanja infrastruktur karena jenuh atau kelebihan kapasitas.

Respons kebijakan

Pemerintah perlu mengoreksi target belanja infrastruktur menjadi lebih realistis dan kredibel, misalnya maksimal 5 persen terhadap PDB. Itu pun sudah hebat karena tidak banyak negaraemerging yang bisa mencapainya. Brasil yang berada pada level tersebut kini sedang didera defisit APBN hingga 7 persen terhadap PDB (normalnya 2 persen, Indonesia 2,5 persen), serta inflasi di atas 10 persen.

Dengan kondisi fiskal yang tertekan sehingga mengurangi kemampuan stimulusnya, maka mau tidak mau harus kembali menoleh belanja non-pemerintah, yakni konsumsi dan investasi, melalui mediasi industri perbankan. Penurunan suku bunga acuan BI yang lebih cepat dari rencana merupakan modal besar bagi bank-bank untuk lebih giat mendorong ekspansi kredit. Tahun lalu, kredit bank hanya tumbuh 10 persen. Tahun ini mestinya bisa setidaknya 12 persen.

Namun, saya ragu apakah suku bunga kredit bisa seluruhnya bisa ditekan di bawah 10 persen pada akhir 2016. Target ini hebat, tetapi mungkin tidak realistis. Jika bank-bank dipaksa—represi finansial—untuk menurunkan suku bunga untuk segmen mikro dan kredit kecil, dari 20 persen ke 10 persen, justru bisa kontraproduktif. Bank-bank menjadi kekurangan insentif untuk masuk ke segmen ini. Kredit UMKM selama ini bergairah, dengan pemimpin pasar BRI, antara lain karena adanya insentif margin bunga yang tinggi. Tanpa insentif ini, sulit membayangkan bahwa mereka akan konsisten menyalurkan kredit dengan kecepatan tinggi.

Akhirnya harus diakui bahwa dinamika perekonomian saat ini benar-benar cepat dan sering tak terduga. Ini memerlukan respons kebijakan yang tepat dan bijak. Sementara itu, untuk keluar dari ketertinggalan, kadang-kadang kita jadi serba tergopoh-gopoh ingin segera menyelesaikannya dalam waktu singkat. Padahal, seperti orang yang baru saja sakit, dia memerlukan waktu untuk bisa kembali berjalan, lalu kemudian pelan-pelan berlari. Tidak bisa serba instan, jika tidak ingin memantik komplikasi yang tidak diinginkan.

A TONY PRASETIANTONO, KEPALA PUSAT STUDI EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK UGM

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Maret 2016, di halaman 6 dengan judul "Dinamika Global Berlanjut".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger