Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 18 Maret 2016

Kurangnya Kajian Sosial di Indonesia (WISNU ADIHARTONO)

Dalam kajian ilmu sosial di Indonesia, hal-hal yang rumit dan sensitif seperti tidak mendapat tempat.

Termasuk di antaranya adalah studi-studi tentang orientasi seksual, yang tentunya meliputi lesbian, gay, biseksual, transjender, yang sekarang lebih dikenal dengan singkatan LGBT. Selama ini, mereka hanya dikaitkan dengan aktivitas hura-hura dan seks semata sehingga dianggap tidak layak sebagai kajian akademis.

Fakta sejarah menunjukkan, fenomena kehadiran kelompok minoritas seksual bukanlah hal baru. Ada epik kunoGilgamesh di zaman Babilonia,Simposium Yunani, dan Satyricon di zaman Romawi yang menggambarkan jalinan antara laki-laki, belum lagi beberapa kisah serupa di Tiongkok, India, Persia, dan Jepang.

Di Indonesia, kita dapat menemukan komunitas Bissu yang sampai saat ini masih ada di Sulawesi Selatan, warok dan gemblak dalam budaya reog di Ponorogo, Jawa Timur, dan ritual-ritual pendewasaan anak laki-laki di Papua.

Kajian baru

Kajian LGBT terbilang baru di dunia. Kajian ini muncul awal abad XX yang kemudian memiliki banyak varian dan interdisipliner, seperti seksualitas, psikologi, sastra, sosiologi, antropologi, politik, bahkan ekonomi dengan subyek yang juga sangat variatif dan dengan karakteristik yang khas. Kajian gayberbeda dengan lesbian, apalagi transeksual.

Akar pemikiran kajian LGBT dapat kita tarik Women Studies dan Kajian Jender, yaitu pemberontakan akan sistem penindasan yang terstruktur dan mengakar dalam pikiran masyarakat. Pada era 1950-an, diskriminasi dan perlakuan semena- mena terhadap kelompok LGBT begitu besar. Hal itu direspons dengan mengorganisasi advokasi toleransi akan hak-hak homoseksual.

Tahun 1960-an dan 1970-an, gerakan kebebasan kelompok LGBT bertransformasi menjadi gerakan pencarian identitas sosial dan politik. Pada era ini, bermunculan ilmuwan sosial yang mulai meneliti LGBT melalui sudut pandang seksualitas dan bagaimana kelompok LGBT membangun subkultur di bawah bayang-bayang ideologi maskulin dan heteronormativitas.

Tahun 1980-an adalah periode penting untuk kelompok LGBT. Di Amerika, Inggris, Denmark, Belanda, Perancis, Australia, dan hampir seluruh belahan dunia, gerakan LGBT menjadi gerakan sosial dan memunculkan kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan pemikiran konstruksianisme sosial. Menurut para konstruksionis, seks secara fundamental adalah sosial. Seksualitas, heteroseksualitas, dan homoseksualitas dimaknai sebagai fakta sosial dan sejarah.

Kajian LGBT hampir tidak berkembang pada era Perang Dingin karena saat itu homoseksualitas dikecam oleh ideologi heteroseksualitas yang turut dilegalkan pemerintah, pengadilan, gereja, universitas, media massa, dan lain sebagainya.

Kajian LGBT mendapat angin segar melalui gerakan perempuan gelombang kedua (second wave movement) era 1970-an yang melawan penindasan ideologi heteroseksualitas. Dalam perlawanan itu, kelompok LGBT menginginkan kesadaran masyarakat bahwa mereka nyata dan ada di sekitar kita. Ilmuwan-ilmuwan kajian LGBT banyak menggunakan pemikiran kajian perempuan karena pada dasarnya bertujuan sama. Perkembangan kajian LGBT cukup pesat dan memunculkan Teori Queer.

Dewasa ini banyak universitas di Amerika dan Eropa, bahkan mungkin di Asia yang telah memiliki departemen kajian LGBT. Bagaimana dengan di Indonesia? Mengapa kajian LGBT dibungkam sebagai kajian ilmiah?

Ilmu sosial

Adalah Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir yang melarang semua kegiatan kajian LGBT di kampus dalam menanggapi kegiatan kelompok SGRC (Support Group and Resources Centre on Sexuality Studies) di Universitas Indonesia. SGRC dipandang sebagai kelompok mahasiswa yang mempromosikan seseorang menjadi seorang LGBT. Padahal, menurut situs web SGRC, kelompok ini lebih mengupayakan pemahaman mengenai permasalahan jender dan seksualitas melalui seminar, diskusi, dan berbagai kegiatan lain.

Berarti SGRC telah memulai mengkaji LGBT secara ilmiah dalam ranah akademis. Namun, pokok-pokok pikiran SGRC justru ditentang sangat keras oleh Menristek yang mengatakan bahwa LGBT tidak sesuai dengan nilai dan kesusilaan bangsa Indonesia. Meskipun Menristek kemudian memperbaiki sikapnya, diskriminasi telah terjadi.

Tanggapan masyarakat yang beragam memperlihatkan kurangnya pengetahuan terhadap isu seksualitas dan jender. Masih banyak yang menganggap bahwa LGBT adalah kelompok orang sakit yang perlu dirawat dan diobati. Muncul pernyataan LGBT dapat menular.

LGBT dianggap sebagai ancaman bagi negara. Bahkan, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengeluarkan semacam larangan menampilkan laki-laki, baik itu pembaca berita, host acara atau artis, yang bergaya seperti perempuan, memakai riasan seperti perempuan, dan berbahasa tubuh seperti perempuan. Masyarakat Indonesia sudah menjadi masyarakat yang homofobik dalam sistem negara maskulin.

Dalam kondisi semacam ini, seharusnya universitas mampu memberikan pengetahuan kepada masyarakat untuk dapat melihat LGBT sebagai kelompok yang memerlukan perlindungan dari tindak diskriminasi dan pelecehan. Sudah seharusnya ilmuwan sosial di Indonesia membuat kajian akademis LGBT sehingga tindak diskriminasi sedikit banyak dapat diminimalisasi.

Diskriminasi

Diskriminasi tumbuh subur di zaman kolonial. Rakyat dipecah belah, mulai dari siapa non-pribumi, pribumi, Tiongkok, sampai priayi, dengan pembedaan fasilitas. Pada era Perang Dingin, banyak negara menjadikan kajian akademis menjadi politis dan tidak pro masyarakat. Pasca Perang Dingin, ketika kapitalisme dielu-elukan, ilmu sosial semakin terpuruk. Ilmu sosial menjadi bidang studi pro kapitalis sesuai "permintaan" elite politik yang ingin ilmu sosial sejalan dengan kebijakan pembangunan.

Hilanglah epistemologi ilmu sosial yang diharapkan membangun kesadaran masyarakat. Meskipun banyak ilmuwan-ilmuwan sosial di Indonesia mencoba membangun kembali epistemologi tersebut, hasilnya sangat sedikit. Kajian-kajian empiris yang dikembangkan pun hampir tidak menyentuh kelompok minoritas, apalagi LGBT. Kajian LGBT dianggap sebagai subyek kajian yang "tidak masuk akal", "keluar dari jalur", dan "tabu untuk didiskusikan". Filsuf Amerika, John Dewey, pernah menawarkan alternatif kurikulum yang berorientasi sosial. Dewey menulis "bukan sekolah yang memengaruhi kehidupan sosial seseorang, tetapi sekolah seharusnya memberikan arah apa yang seharusnya dilakukan dan bagaimana hal itu harus dilakukan".

Dewey percaya bahwa sekolah (universitas) dapat merekonstruksi pemikiran terhadap masyarakat. Sekolah dipercaya mampu berpartisipasi dalam mentransfer ide-ide intelektual dengan menanamkan "metode intelektual". Ini mengajak mahasiswa berpikir kritis dalam menganalisis problem sosial. Menurut Dewey, tujuan utama pendidikan adalah menyiapkan individu secara intelektual, memahami isu-isu terkini, dan memberi senjata intelektualitas untuk masuk ke dalam isu-isu yang rumit dan sensitif.

Pemikiran sosial rekonstruksionis tentunya membutuhkan pendidik yang mampu mengampu kajian-kajian non-mainstream. Seorang pendidik harus mampu mengajarkan kepada siswanya memahami sejarah, tidak menghakimi, dan mengembangkan pemikiran-pemikiran reflektif ilmu sosial untuk dikontribusikan dalam pengembangan sosial masyarakat. Intinya, menjadikan ilmu sosial berperan mentransformasikan isu-isu yang berkembang di dalam masyarakat.

Universitas, dari kata univers, adalah medan semua ilmu pengetahuan. Maka, universitas harus dapat mengkaji fenomena secara akademis dan bebas dari tekanan dan kekuatan apa pun.

WISNU ADIHARTONO, DOKTOR BIDANG SOSIOLOGI DARI ECOLE DES HAUTES ETUDES EN SCIENCES SOCIALES (EHESS), MARSEILLE, PERANCIS

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Maret 2016, di halaman 7 dengan judul "Kurangnya Kajian Sosial di Indonesia".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger