Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 23 Maret 2016

TAJUK RENCANA: Libya Ladang Baru NIIS (Kompas)

Berkembangnya kelompok militan, termasuk Negara Islam di Irak dan Suriah di Libya, mengkhawatirkan banyak negara, termasuk negara-negara di Eropa.

Libya menjadi "daerah basis baru" Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) menyusul kekalahan di Irak dan Suriah. Jumlah anggota NIIS di Libya diperkirakan 18.000 orang. Luas Libya yang sebagian besar terdiri atas gurun pasir mencapai tiga kali lipat luas Irak dan Suriah.

Seperti diberitakan Kompas, Senin (21/3), wilayah gurun masih menjadi lubang hitam intelijen dunia. Mereka bergerak ke selatan untuk bergabung dengan kelompok Boko Haram di Nigeria, kepanjangan tangan NIIS di Afrika Barat. Selain itu, wilayah selatan yang sebagian besar masih berupa gurun tersebut bisa menjadi pintu belakang seandainya ada serangan internasional di sepanjang pesisir Laut Tengah.

Para analis memperkirakan, anggota NIIS di Libya berasal dari kelompok yang dulunya pendukung berat Moammar Khadafy, dan sebagian jihadis dari Tunisia, tetangga Libya. Awalnya, kelompok militan di Libya, seperti Brigade Battar, justru menentang Khadafy.

Setelah Khadafy terguling, mereka berada di bawah kontrol Ansar al-Sharia in Libya (ASL) yang berafiliasi dengan Al Qaeda. Namun, tahun 2015, sebagian anggota ASL menolak bergabung dengan NIIS.

Sejak itu, NIIS beralih perhatian dengan merangkul pendukung berat Khadafy dan menjadikan kota Sirte, tempat kelahiran Khadafy, sebagai kota penghubung dengan NIIS. Kondisi Libya yang masih bergejolak membuat perkembangan NIIS di negara ini maju pesat.

Di samping itu, di bagian selatan perbatasan antara Libya dan Tunisia terdapat kelompok militan. Kondisi keamanan negara Libya yang masih kacau tidak memungkinkan mereka mengawasi perbatasannya dengan ketat. Dan, seperti diketahui, militan Tunisia merupakan salah satu pemasok utama pejuang NIIS di Irak dan Suriah.

Mengatasi perkembangan NIIS di Libya, pastilah tidak gampang. Mengupayakan rekonsiliasi di dalam negeri Libya dan menerapkan strategi anti teroris di Tunisia harus dilaksanakan terpadu. Upaya rekonsiliasi itu pun harus dibarengi dengan mengatasi ketimpangan ekonomi, dalam arti mengurangi perdagangan ilegal antara Pemerintah Libya dan kelompok militan yang menguasai minyak.

Sebagian analis menyatakan, perkembangan kelompok militan di Libya tidak seperti yang dikhawatirkan karena di tubuh NIIS Libya terjadi persaingan. Apalagi, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, kepemimpinan NIIS di Libya masih belum kuat untuk menjadikan wilayah itu sebagai negara sendiri.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Maret 2016, di halaman 6 dengan judul "Libya Ladang Baru NIIS".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger