Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 28 Juni 2017

Pajak Bumi dan Bangunan (DAOED JOESOEF)

Bersamaan dengan peringatan Hari Kelahiran Pancasila, ramai dibahas kepancasilaan sikap dan perbuatan warga Indonesia pada umumnya, kebijakan pemerintah pada khususnya. Ternyata yang benar-benar luput dari pembahasan tadi adalah soal Pajak Bumi dan Bangunan.

Ini sungguh mengherankan mengingat Indonesia, yang berpretensi negeri Pancasilais memberlakukan PBB yang by its very nature begitu liberal, anti-Pancasila. Sementara justru karena itu negeri-negeri yang mengklaim dirinya liberal-non-Pancasilais enggan menerapkannya.

Untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan yang diemban para penguasa negeri, baik di Timur maupun di Barat, perlu dana yang dikutip dari rakyat. Maka ada ungkapan "as sure as death and taxes". Walaupun begitu bukan berarti bahwa penentuan besar-kecilnya pajak terutang boleh asal-asalan. Demi keadilan ia harus didasarkan pada asas "kemampuan membayar" (the ability to pay) dari pembayar pajak di negeri yang maunya demokratis, Pancasilais, serta perlu dibahas secara berkala di parlemen (DPR, DPRD).

Pembahasan yang diniscayakan ini tidak pernah ada di Indonesia, padahal PBB merupakan satu sistem perpajakan yang ultraliberal. Dengan kata lain, sila kedua (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab) dan sila kelima (Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia) dari Pancasila telah diabaikan begitu saja!

Penetapan pajak

Semasa jenis sumber penghasilan masih relatif terbatas, ada kebiasaan penguasa negeri mewajibkan warganya, mulai usia tingkat tertentu, membayar pajak pendapatan (income tax). Penetapan besaran pajak didasarkan pada kapasitas produktif tanah (bumi) atau standar yang dianggap mencerminkan kapasitas tersebut. Kapasitas ini pada gilirannya disimpulkan dari tingkat kesuburan tanah; jarang sekali atas situasi dan letak tanah (obyek pajak).

Dahulu, di Eropa, rumah kediaman pernah juga menjadi obyek pajak. Besarannya ditetapkan menurut keadaan yang "menggelikan", yaitu "jumlah jendela rumah". Begitu rupa hingga tidak sedikit warga yang alih-alih membuat jendela, membuat "gambar jendela" di dinding rumahnya; sungguh sinis! Kini PBB tidak lagi diterapkan di sana. Memang ada sejenis pajak tanah (land tax), tetapi berfungsi lain: guna mencegah penguasaan spekulatif tanah di sektor urban, "absentee landlords", pembiaran tanah tidur (tidak difungsikan, menjadi semak belukar).

Di Indonesia, sebaliknya, PBB yang terang-terangan ultraliberal kelihatannya semakin "dipaksakan. Para camat dan kepala desa dari Kabupaten Tasikmalaya "dihukum berdiri" di depan banyak orang karena belum melunasi PBB (Kompas, 8 Mei 2017). Sebagai "pesakitan: mereka dipaksa berdiri di depan dan ditonton oleh sekitar 400 kepala desa, para koleganya, dari seluruh kabupaten. Dengan sengaja dan sadar mereka dipermalukan. Apakah hukuman seperti itu Pancasilais?! Ini adalah hukuman yang "biasa" di zaman VOC (tanaman paksa, berodi pembuatan jalan). Bahkan, di negeri-negeri yang beradab, yang terang-terangan mengklaim dirinya liberal, tidak mau memberlakukan hukuman "zaman baheula" itu.

PBB di Indonesia betul-betul berpembawaan destruktif. Ia memaksa penghuni kota "angkat kaki" dan pindah karena PBB besarannya terus meningkat di bagian kota yang mereka huni. Mereka pindah karena terpaksa berhubung rata-rata berupa orang pensiunan, bagai bunyi pepatah "habis manis sepah dibuang", termasuk keturunan mereka, para muda belia, dan lain-lain.

Jadi jelas bahwa PBB telah melanggar sekaligus dua hal. Pertama, ketentuan prinsipiil dari pemungutan pajak, yaitu "the ability to pay". Kedua, dua asas dari Pancasila, yaitu "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab" dan "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia".

Kepergian mereka tidak membuat wilayah kota yang mereka tinggalkan menjadi kosong dan lengang. Sebagai gantinya datang penghuni baru, rata-rata orang berduit, yang mampu membayar PBB yang besarannya terus meningkat dari tahun ke tahun. Kemampuan ini membuat mereka menjadi "warga pilihan" yang dianggap pantas hidup di wilayah elite dari kota.

Maka terciptalah suatu kondisi yang absurb. Kota-kota yang Pancasilais diubah menjadi wilayah permukiman yang ultraliberal oleh PBB, yaitu satu sistem perpajakan yang seharusnya dihapus, hanya karena pertimbangan penerimaan yang efektif dari kas negara. Padahal, negara seharusnya berfungsi selaku pengayom rakyat par exellence, sesuai amanat Pancasila yang saat kelahirannya dengan sadar dan sengaja dijadikan hari libur nasional demi menghormatinya.

Dampak PBB

PBB di Indonesia, jika dibiarkan sebagai unsur dari sistem perpajakan nasional, bisa melumpuhkan lembaga pendidikan, kalaupun tidak mematikannya. Sekolah-sekolah yang berhalaman luas semakin dibebani PBB. Dengan kata lain, halaman sekolah yang luas dan nyaman kena sanksi. Padahal, halaman sekolah bukan suatu kemewahan. Itu merupakan bagian integrasi dari gedung sekolah, unsur konstitutif dari proses pendidikan.

Murid-murid bersosialisasi dan berkomunikasi di situ. Di halaman ini mereka belajar bergaul, bertoleransi dan sambil bersantai belajar mengakui kelebihan pelajar lain. Pembentukan karakter yang terpuji, patriotisme, terjadi di halaman sekolah. Kenangan yang tak terlupakan seumur hidup biasanya lebih banyak mengenai apa-apa yang dialami dalam pergaulan di halaman sekolah ketimbang yang dijumpai di dalam kelas.

"England win the war at the yard of Eton", demikian bunyi ungkapan filsuf Ortega Y yang pernah bergema di UNESCO, lembaga PBB yang khusus menangani urusan pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Perang Dunia I dan II bukan dimulai oleh Inggris, melainkan bangsa ini selalu menyelesaikannya dengan kemenangan. Namun, patriotisme, keperwiraan, dan nasionalisme yang menjiwai dan memandu upaya kemenangan itu sudah dipupuk sejak di sekolah rendah dan menengah nasional (Eton), bukan baru dimulai di Akademi Militer (Sandhusrt).

Karena PBB sekolah terpaksa menyisihkan dana yang sedianya bisa dipakai untuk membiayai kesejahteraan guru, melengkapi peralatan laboratorium dan buku perpustakaan, peralatan musik, ataupun pelaksanaan lain-lain kegiatan yang bersifat extra schooling.

Di negeri-negeri yang sudah maju, lembaga-lembaga pendidikannya sama sekali tidak dibebani pajak, apalagi yang sejenis dengan PBB. Begitu rupa hingga subsidi dari pemerintah dan, bahkan, dari orangtua murid serta donatur dapat sepenuhnya dimanfaatkan untuk menaikkan mutu pemelajaran dan pendidikan.

Berikan fasilitas

Di Amerika ada kebijakan pendidikan pemerintah yang pantas ditiru. Kalau ada pihak swasta membangun sekolah dan langsung berbatasan dengan sebidang tanah kosong, sekolah tersebut diizinkan memanfaatkannya untuk kegiatan-kegiatan pendidikan, biasanya untuk berolah raga. Ini bukti nyata dari adanya kesadaran tentang signifikan fungsional dari halaman bagi persekolahan. Bukan dipajak, tetapi malah diberi fasilitas.

Wahai pemerintah, penguasa negeri, hapuslah PBB sekarang juga, here and now, sebelum terlambat, sebelum akibat destruktifnya tidak terelakkan. Jangan tunggu sampai nasi menjadi bubur.

Ada dua cara untuk membuat suatu negara-bangsa menjadi semakin lama semakin lumpuh. Pertama, dengan melibatkannya dalam peperangan dan/atau konflik berkepanjangan. Kedua, bila pendidikan anak-anak bangsa diabaikan. Kedua aksi tersebut sedang terjadi di lingkungan NKRI.

Secara formal Indonesia memang tidak berperang tetapi secara faktual ia sudah dikacaukan oleh aneka disguised proxy wars, berupa radikalisme antaragama, aksi teror bersendikan fanatisme kepercayaan dan kesukuan, perang hibrida, cyber terrorism, peredaran narkoba, penisbian moral kebangsaan, serta pencemaran nilai-nilai kepancasilaan dan ke-Bhineka-Tunggal-Ika-an.

Secara formal, proses pendidikan memang tetap berjalan, tetapi secara faktual ia bagai kerokot tumbuh di batu, hidup segan mati tak mau. Padahal, pendidikan ini yang sangat menentukan masa depan kolektif kita.

Wahai pemerintah, to govern is to foresse. Pemerintah bukan (bertugas) memerintah, tetapi menjadi sekaligus pelayan (servant) dan pembimbing (tutor) bagi rakyat. Hal ini jelas merupakan pesan yang dikandung Pancasila, bukan PBB.

DAOED JOESOEF

Alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Juni 2017, di halaman 6 dengan judul "Pajak Bumi dan Bangunan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger