Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 28 Juli 2017

ARTIKEL OPINI: Serigala di Kandang Domba (ADJIE SURADJI)

Jika ada serigala (Canis lupus) di kandang domba, segera bunuh serigala tersebut. Membiarkan serigala di kandang domba adalah konyol. Seekor serigala bisa mencerai-beraikan kawanan domba. Dan, domba yang terpisah dari kelompoknya akan menjadi mangsa serigala.

Ungkapan di atas menggambarkan bahwa dalam mengelola suatu komunitas, faktor keamanan mutlak harus dijaga. Melindungi komunitas dengan melakukan penangkalan, pencegahan, dan penanggulangan dari segala bentuk ancaman anasir jahat penting dilakukan.

Sayang, dalam bernegara, mengelola komunitas rakyat seperti di Indonesia ternyata adagium better safe than sorrybelum jadi budaya. Politik pembiaran, menganggap sepele permasalahan sosial, atau kurangnya antisipasi masih menjadi epidemi sistem ketatanegaraan kita.

Lebih berbahaya

Kebangkitan gerakan radikal di Indonesia muncul sejak era reformasi ketika semua ideologi "dibiarkan" masuk atas nama demokrasi. Gerakan (radikal) yang di negara asal dilarang, justru menyebar dan mempunyai banyak pengikut di Indonesia (Tajuk Rencana, Kompas, 21/3).

Kondisi tersebut mengisyaratkan bahwa penguatan gerakan radikal di Indonesia terjadi tidak tiba-tiba. Keinginan mengganti sistem ketatanegaraan, karena Pancasila "thogut" dan demokrasi "kuffar", sudah dipropagandakan secara masif sejak satu dekade lalu. Kesuksesan penyelenggaraan Konferensi Khilafah Internasional di Jakarta (2007) digunakan sebagai batu pijakan.

Ketika slogan "saatnya khilafah memimpin dunia" yang dipropagandakan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) bergema, bangsa Indonesia seakan baru tersadar dari mimpinya. Lantas apakah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 2/2017—senjata untuk mencabut SK badan hukum ormas yang anti-Pancasila—mampu mengeliminasi gerakan radikal di Indonesia?

Membubarkan gerakan radikal sangat mudah, tetapi tidak dengan ideologinya. Ideologi adalah ide atau gagasan manusia yang menawarkan perubahan melalui proses pemikiran normatif (Ideology Strictly Defined, Antoine Destutt de Tracy, 1818). Ideologi radikal adalah pemikiran yang mendasarkan pada konsep kekerasan untuk mengubah suatu keadaan. Dengan penjelasan ini bisa dikatakan ideologi radikal memiliki derajat lebih berbahaya.

Ada dua alasan yang melatari kenapa ideologi radikal memiliki derajat lebih berbahaya. Pertama, dalam konteks duniawi, secara fisik (kasatmata) ideologi radikal bisa dijadikan senjata politik mematikan. Segala bentuk kegaduhan gerakan "anarkisme" massa jalanan hingga konflik bersenjata, seperti di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara yang dikemas dengan bungkus agama, sesungguhnya hanya mengekspresikan persoalan syahwat atau libido politik manusia.

Kedua, secara psikis, ideologi radikal memiliki dampak buruk bagi kehidupan sosial manusia karena bisa mengubah perilaku. Propaganda manipulatif NIIS lewat sosial media sukses merekrut puluhan ribu kombatan, termasuk dari Indonesia, yang "berjihad" sebagai "war tourism"—turis perang, di Suriah. Tak hanya itu. Taktik siber—nonkonvensional (teknologi internet) yang menyerang korbannya lewat aspek psikologis—juga sukses merekrut jutaan warga Indonesia untuk menjadi simpatisan—sel tidur NIIS yang mematikan.

Tak bisa dimungkiri, ideologi radikal adalah pembangkit gerakan radikal. Egon Bittner, Radicalism and the Organization of Radical Movements(1963),merumuskan bahwa gerakan radikal tetap menjadi ancaman sepanjang ideologi radikal dibiarkan tumbuh dan berkembang.

Jadi, apa gunanya membubarkan gerakan radikal jika ideologi radikal—pemikiran yang mendasarkan pada doktrin atau konsep kekerasan untuk mengubah suatu keadaan—tetap dijadikan sebagai ajaran dan diterapkan serta dipropagandakan dalam kehidupan sosial masyarakat? Bukankah ini masih identik dengan ungkapan membiarkan serigala di kandang domba?

Musuh dalam selimut

Banyaknya warga bangsa yang tidak lagi memandang kehidupan dengan optimistis, tetapi hanya mendambakan kematian yang dianggap syahid dan mulia lewat "bom-jihad-bunuh diri", merupakan bukti tak terbantahkan bahwa ajaran radikal masih menjadi musuh dalam selimut bangsa Indonesia. Mengadopsi strategi perang Sun Tzu (544-496 SM) bahwa dalam perang harus ada strategi untuk memenanginya, lantas apakah hanya dengan membubarkan gerakan radikal secara formal berdasarkan Perppu No 2/2017 sudah menjamin bahwa ideologi radikal akan tereliminasi dari Indonesia?

Dalam sosiologi hukum, ada terminologi mobilisasi hukum. Perppu No 2/2017 hanya huruf-huruf mati dan hanya akan berfungsi apabila ada mobilisasi dari para pemangku kepentingan. Artinya, tanpa implementasi yang melibatkan seluruh komponen bangsa untuk menolak ideologi radikal, Perppu No 2/2017 tersebut tak ada artinya.

Sebagaimana disampaikan Sun Tzu bahwa mengetahui pasukan dapat menggempur, tetapi tak mengetahui bahwa musuh tak dapat digempur berarti separuh kemenangan telah diperoleh. Mengetahui bahwa musuh dapat digempur, tetapi tak mengetahui bahwa pasukan tak dapat menggempur juga memperoleh separuh kemenangan. Mengetahui bahwa musuh dapat digempur, mengetahui bahwa pasukan dapat menggempur, tetapi tak mengetahui bahwa bentuk bumi tak dapat digunakan untuk bertempur juga hanya memperoleh separuh kemenangan.

Di sini muncul logika seni berperang: bahwa perang dengan setengah hati tak mungkin bisa menang. Mengenali musuh, menyadari kemampuan sendiri, mengetahui di mana kita berada, memahami apa yang sedang terjadi, dan berperang dengan sepenuh hati adalah kunci memenangi pertempuran.

Jika ada serigala di kandang domba, ada dua cara bertindak: memindahkan kandang domba atau membunuh serigalanya. Alternatif pertama, memindahkan kandang domba, yang bisa diartikan "memindahkan rakyat" adalah mustahil dilakukan. Maka, untuk mewujudkan social equilibrium—tatanan kehidupan masyarakat yang harmonis—tak ada cara lain kecuali membunuh serigalanya.

Dan, Sun Tzu juga mengatakan, tempuh jarak seribu li dan bunuhlah jenderalnya. Meminjam istilah Presiden Joko Widodo, bisa dibaca, "gebuk" para inspiratornya—tokoh radikalis atau tokoh pemilik pemikiran radikal—niscaya gerakan radikal di Indonesia dapat dieliminasi.

Ideologi radikal, pembangkit gerakan radikal yang sering mewujud ke dalam bentuk sikap intoleran, ujaran kebencian, hingga anarkisme dan terorisme bersifat destruktif: mengganggu keamanan, memecah belah kesatuan dan persatuan. Tak hanya itu. Gerakan radikal juga mengancam tatanan negara, terutama tiga aspek kehidupan, yaitu keadilan, kesejahteraan, dan kebebasan.

Maka, jangan biarkan serigala berada di kandang domba. Jika ada, segera bunuh. Kemudian, jangan pernah lagi memberi ruang atau kesempatan ideologi radikal untuk tumbuh berkembang dan tampil mengeksploitasi diri.

ADJIE SURADJI

Alumnus Fakultas Sains Universitas Karachi, Pakistan

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Juli 2017, di halaman 7 dengan judul "Serigala di Kandang Domba".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger