Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 11 Oktober 2017

ARTIKEL OPINI: Ragam dalam Keragaman (NUR ROFIAH)

Selama dua minggu, sejumlah tokoh perempuan Muslim Indonesia mengikuti Kursus Pengembangan Kepemimpinan (Leadership Development Course) yang diselenggarakan Alfred Deakin Institute (ADI) di Deakin University, Melbourne, Australia, akhir September 2017.

Kegiatan itu merupakan rangkaian program hibah Australia Awards Indonesia Pemerintah Australia bagi Indonesia.

Dalam cara pandang politik persatuan di Indonesia, keragaman kerap dipandang sebagai penyebab konflik. Karena itu, pesan yang sering disuarakan adalahunity in diversity. Maknanya kurang lebih sama dengan Bhinneka Tunggal Ika atau berbedabeda tetapi tetap satu. Kita diminta melihat titik persamaan dalam melihat keragaman. Meski berbeda suku, bahasa, dan agama, kita adalah sama sebagai bangsa Indonesia. Tentu pesan ini penting dan secara kontekstual dibutuhkan Indonesia dalam mempersatukan tekad bersama sejak mengusir penjajah, dari era pembangunan hingga era reformasi.

Namun, demi dan atas nama persatuan, titik persamaan dan titik perbedaan telah disikapi secara tidak imbang. Titik persamaan mendapatkan perhatian jauh lebih besar daripada titik perbedaan. Kita diingatkan terus-menerus dengan bahaya SARA. Demi persatuan kita diminta meniadakan perbedaan. Di sinilah kemudian muncul masalah karena perbedaan adalah realitas yang tidak bisa diabaikan.

Perhatian berlebihan pada titik persamaan telah melahirkan kecenderungan memandang dan menyikapi segala sesuatu secara tunggal. Titik persamaan kemudian bergeser pada penyeragaman. Pijakan bersama tak lagi diletakkan pada titik persamaan melainkan penyeragaman atas nama persamaan. Umumnya persamaan merujuk kepentingan kelompok mayoritas, baik dari sisi jumlah maupun kuasa (power). Segala yang berbeda dengan kehendak, cara pandang, dan kepentingan sang mayoritas diminimalkan demi persatuan. Dalam situasi ini, apa yang disebut sebagai kepentingan publik tak lebih dari pengutamaan kepentingan mayoritas. Mereka menjadi kiblat standar penyeragaman, sementara pihak minoritas dituntut menyesuaikan diri.

Pengabaian pada titik perbedaan juga berakibat pada tak terlatihnya kita menyikapi perbedaan secara arif. Persatuan yang dibangun dengan mengabaikan perbedaan sebetulnya persatuan rapuh. Perpecahan menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja ketika sentimen perbedaan ini di-obok-obok, terutama oleh mereka yang kepentingan kelompoknya justru terhalang oleh persatuan. Di sinilah multikulturalisme jadi penting dan niscaya..

Multikulturalisme

Keragaman adalah fitrah kemanusiaan. Ia meliputi hal-hal taqdiri, seperti jenis kelamin, suku, bangsa, dan hal yang diyakini ilahi seperti agama. Apalagi dalam hal-hal yang bersifat ikhtiyari. Misalnya jender sebagai respons manusia atas perbedaan jenis kelamin; atau tafsir dan tradisi agama sebagai respons atas agama; bahasa sebagai hasil keragaman suku dan bangsa, serta banyak hal lain yang sejatinya konstruk sosial dan kebudayaan manusia. Aneka keragaman ini terjalin berkelindan membentuk kultur yang sangat beragam.

Multikulturalisme adalah kesadaran tentang pentingnya menerima keragaman bukan lagi sebagai ancaman perpecahan, melainkan kekayaan dan kekuatan sosial. Dengan demikian, multikulturalisme tak hanya sampai pada pengakuan atas adanya keragaman, tetapi juga pelibatan maksimal setiap unsur keragaman masyarakat demi kemajuan bersama. Dalam titik ini pencarian persamaan terletak pada upaya memenuhi kepentingan publik/bersama sebagai kepentingan seluruh pihak tanpa kecuali.

Dalam cara pandang multikulturalisme, perbedaan mendapatkan perhatian seimbang dengan persamaan. Potensi-potensi kelompok minoritas mendapatkan ruang berkontribusi dalam pemenuhan kepentingan publik. Kebutuhan khusus mereka mendapatkan perhatian seimbang dengan kebutuhan mayoritas.

Layanan publik dengan demikian meliputi kebutuhan khusus kelompok minoritas, seperti kebutuhan khusus sebagai penganut agama minoritas, kemampuan fisik berbeda (different ability/difable), anak-anak dan usia lanjut, perempuan terutama yang sedang menjalani masa reproduksi, seperti menstruasi, hamil, dan menyusui. Dalam cara pandang multikultural, pemenuhan kepentingan minoritas akan dengan sendirinya membawa manfaat bagi mayoritas.

Multikulturalisme mengandung dua sayap nilai yang saling menguatkan dan mesti ada secara bersama. Pertama, melihat titik persamaan sebagai cara untuk membangun persatuan. Titik ini bisa menjadi landasan perumusan nilai-nilai bersama sebagai pijakan sekaligus payung bersama. Unity within diversitycukup pas menggambarkan nilai ini. Kedua, melihat titik perbedaan sebagai keragaman potensi untuk maju bersama.Diversity within diversity, merefleksikan nilai ini. Karena keragaman menjadi bekal untuk maju, multikulturalisme tetap tidak menghendaki penggunaan budaya apa pun, termasuk tafsir agama, untuk melakukan ketidakadilan.

Keragaman perempuan

Diversity within diversity menjadi salah satu konsep yang cukup kuat dibahas selama kursus. Gagasan Pemerintah Australia dalam memilih multikulturalisme sebagai visi politik dan praktik pembangunan tergambar dari beragam presentasi yang disajikan sejumlah narasumber, baik para perempuan praktisi politik, pimpinan daerah, aktivis media, maupun NGO yang bekerja untuk kelompok imigran. Bahkan, dalam isu kesehatan, garis perjuangan NGO setempat, seperti The Multicultural Centre for Women's Health di Collingwood Melbourne, adalah menghadirkan keragaman sebagai basis layanan. Misalnya, layanan konsultasi kesehatan bagi perempuan dengan menggunakan 19 bahasa di luar bahasa Inggris sembari menyediakan kursus bahasa Inggris bagi perempuan dan remaja imigran agar dapat mengakses informasi layanan dasar yang jadi hak mereka sebagai warga.

Relasi timpang jender kerap menempatkan perempuan sebagai minoritas dalam forum pengambilan keputusan meski secara jumlah mereka mayoritas. Di dunia maskulin, kepentingan publik disandarkan pada perspektif lakilaki yang sejak awal dijadikan patokan kepentingan karena berangkat dari asumsi ruang publik adalah ruang lelaki sebagai pencari nafkah utama. Akibatnya, yang disebut kepentingan publik bisa mengabaikan kebutuhan khas perempuan. Cara pandang multikulturalisme menghendaki agar kepentingan perempuan menjadi bagian dari kepentingan publik sehingga menentukan kebijakan dan kelengkapan layanan publik. Perempuan adalah warga negara penuh.

Perempuan sebagai salah satu unsur keragaman juga mengandung keragaman di dalamnya. Ragam latar belakang budaya dan agama; status perkawinan seperti lajang, menikah, menikah tapi belum punya anak, punya anak sekaligus menjadi ibu tunggal; aneka usia seperti anak-anak, remaja, usia produktif hingga lansia; perbedaan kemampuan fisik; punya pengalaman kekerasan berbeda-beda, dan seterusnya.

Pada akhirnya, multikulturalisme mengajarkan kepada kita untuk bersatu tanpa meniadakan perbedaan. Titik temu menjadi perekat, dan titik beda jadi penguat. Bersatu dalam persamaan dan respek pada perbedaan.

NUR ROFIAH, DOSEN STUDI AL QURAN DI PERGURUAN TINGGI ILMU AL QURAN JAKARTA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Oktober 2017, di halaman 7 dengan judul "Ragam dalam Keragaman".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger