Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 31 Mei 2018

Jalan Tengah Keindonesiaan//Nasib Pensiunan//Sabar (Surat Pembaca Kompas)

Jalan Tengah Keindonesiaan

Pancasila sejatinya adalah jalan tengah bagi Indonesia di tengah pergulatan dunia yang terbelah dalam kutub-kutub kepentingan dan ideologi.

Sebagai jalan tengah, Pancasila merupakan kesadaran (ideologis) keindonesiaan kontemporer. Akar sejarahnya telah menancap lama, membumi dalam benak tiap founding father bangsa Indonesia, tak terkecuali segenap komponen rakyat di masa-masa menentukan, 1926-1945.

"Jalan tengah" dalam hal ini adalah karakter "monodu- alis" dalam menjalankan Indonesia sebagai suatu organis- me negara. Karakter "monodualis" berarti bahwa negara Indonesia tak menganut fanatisme paham ideologis kanan maupun kiri. Konsekuensinya jelas tegas: fundamental- isme, radikalisme, dan anasir totalitarianisme tak akan pernah cocok, apalagi menolong bangsa dan negara ini, dalam menempuh takdir sejarahnya sebagaimana tercatat dalam Pancasila.

Pancasila sebagai bentuk genuine persatuan dan gotong royong, semua entitas pendiri negara Indonesia telah setuju bahwa bangsa Indonesia tak hanya merdeka secara kedaulatan wilayah, tapi juga ideologi atau cara pandang.

Ideologi Indonesia merdeka adalah Pancasila. Ia berfungsi sebagai mata-baca dan rujukan "model" bagi pemerintah dan entitas rakyat menghadapi tantangan perubahan tiap zamannya. Di situlah sikap dan pilihan "monodualis" dalam cara pandang Indonesia yang bebas aktif, nonblok dalam hubungan internasional.

Dalam penataan urusan ekonomi politik dalam negeri, ia tecermin dalam UUPA 1960 bahwa sistem agraria Indonesia tak menganut kapitalisme (ada batas maksimum pemilikan), tak juga menganut sosialisme-komunisme (tetap diakui hak milik pribadi). Dalam sosio-kultural, agama dan adat dalam posisi menerima pemerintah yang sah dan hukum nasional yang berlaku di negara Indonesia. Hubungan di antaranya berdasarkan hukum dan demokrasi dalam Pancasila dan UUD 1945.

Tahun politik, 2018-2019, tak layak dan tak pantas berjalan di luar jalan tengah keindonesiaan. Kemajuan politik hanya berarti meningkatnya kecerdasan politik masyarakat: makin berbudayanya masyarakat berpolitik.

Sabiq CarebesthPenyair, Tinggal di Jalan Otto Iskandardinata, Jakarta Timur


Nasib Pensiunan

Saya selaku pensiunan PNS, yang tiap bulan menerima pensiun Rp 1.591.600, mohon perbaikan nasib kepada pemerintah karena pensiun kami jauh di bawah UMR/UMP.

Harga bahan pokok setiap waktu naik. Pertama saya dapat pensiun, ayam potong Rp 20.000 per kg dan telur Rp 18.000 per kg. Sekarang harga hampir dua kali lipat, sementara uang pensiun belum berubah.

Nasib kami jauh dibandingkan dengan buruh. Mereka muda, bisa demonstrasi. Kami uzur, tak berdaya, pasrah dengan keadaan. Pemerintah, tolong, kami masih ingin hidup agak layak.

E Harris AchadiatJalan Kopral Hanafiah, Ogan Ilir, Sumatera Selatan

 

Sabar

Dalam Surat kepada Redaksi, Kompas, 7 Mei, Bapak Martono kecewa atas uang pengembalian Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan PNS. Beberapa pensiunan di lingkungan kami mengalami hal sama: gigit jari atau kecele. Ketika saya urus, pihak bank cari nama saya sampai ke pusat: tidak ada.

Dulu waktu gaji mulai dipo- tong Bapertarum (1993), saya sudah persiapan pensiun. Beberapa teman pensiunan lain juga tak menerima pengembalian dengan sebab berbeda-beda. Ada yang lucu, suami-istri pensiunan, pekerjaan sama; suaminya menerima pengembalian Rp 2 juta, istrinya hanya Rp 400.000.

Karena kasusnya beda-beda, kami yang tak menerima uang pengembalian Bapertarum hanya bisa saling menemani sabar. Semoga Tuhan Yang Mahakaya kasih rezeki melalui cara lain.

Titi Supratignyo, Pondok Kacang Barat, Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten


Kompas, 31 Mei 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI: Mitos Kegagalan Islam Transnasional di Indonesia (IBNU BURDAH)

TOTO SIHONO

                    

Keyakinan berlebihan terhadap ketangguhan apa yang disebut dengan Islam Indonesia dan mitos kegagalan Islam transnasional di negeri ini telah membuat kita salah menilai tentang persebaran pemikiran gerakan-gerakan itu dan dampaknya bagi masyarakat Indonesia. Keyakinan berlebihan akan tangguhnya Islam Indonesia dalam membendung arus keislaman baru telah membuat kita terlena.

Faktanya, gagasan-gagasan Islam transnasional itu telah menyebar, masuk ke dalam relung kehidupan keberislaman sebagian orang Indonesia saat ini. Jika dicermati, ekspresi pikiran-pikiran gerakan Islam transnasional itu sesungguhnya sudah demikian terlihat cukup lama di ruang publik demokratis Indonesia.

Ruang publik demokratis kita sejak 19 tahun lalu memang memberikan kebebasan berekspresi berbagai arus keislaman, termasuk yang anti-demokrasi dan anti-keindonesiaan. Masifnya penggunaan media-media baru telah melipatgandakan penyebaran pikiran-pikiran itu di ruang publik kita. Ekspresi pikiran-pikiran gerakan Islam transnasional itu sangat menonjol dalam aktivisme Islam, baik di dunia virtual maupun nyata. Hal ini lebih terlihat lagi ketika sebagian umat Islam di Indonesia menyikapi persoalan-persoalan kontroversial seperti isu penistaan agama, menguatnya calon pemimpin dari minoritas, pembubaran ormas Islam, dan rentetan aksi bom bunuh diri belum lama ini.

Retorika dan pikiran-pikiran Islam transnasional yang dimaksudkan itu mencerminkan pandangan berikut. Pertama,  simplistic model of Islam dengan mengembalikan segala persoalan langsung ke bunyi tekstual Al Quran dan hadis. Kedua, mudah melakukan ekslusi teologis terhadap praktik-praktik keislaman Indonesia pada umumnya atau kelompok Islam lain dengan penyebutan bidah, syirik (penyekutuan Tuhan), tersesat, dan kafir. Ketiga, tidak ramah terhadap perbedaan dan keragaman. Keempat, mengagungkan budaya Timur Tengah dan meremehkan tradisi Islam di Nusantara. Kelima, yang sangat penting adalah rendahnya komitmen dan loyalitas terhadap negara-bangsa Indonesia.

Aktivisme keislaman dengan ciri-ciri itu tampak menonjol dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia. Itu jelas bukan ciri dari keislaman Indonesia yang cenderung ramah dengan keragaman, kaya akan warna dan fitur tradisi serta simbol, ramah dengan perbedaan, dan berkomitmen kuat pada keindonesiaan. Bahkan, umat Islam Indonesia menjadikan keislaman dan keindonesiaan sebagai sesuatu yang tak terpisahkan.

Hampir 20 tahun masa reformasi adalah masa bangkit dan berkembangbiaknya gagasan-gagasan Islam transnasional di Indonesia. Oleh karena itu, tak mengejutkan jika beberapa tahun terakhir dampaknya sangat terasa dalam kehidupan bersama kita. Seperti sesuatu yang mengejutkan baru saja terjadi. Padahal, itu adalah buah logis dari proses panjang demokratisasi "liar" selama dua dekade ini. Benturan yang sangat tajam di bawah antara kelompok-kelompok Islam "Indonesia" dan Islam yang bernuansa transnasional sekarang terjadi di mana-mana.

Sulit dibendung

Menguatnya media-media baru, terutama media sosial, membuat penyebaran pikiran dan ekspresi Islam transnasional hampir tak mungkin dibendung di ruang demokratis kita. Para eksponen Islam transnasional bisa memanfaatkan suasana ini untuk melakukan penetrasi mendalam dalam kehidupan bangsa ini. Tak hanya di kota, tapi juga hingga ke desa-desa. Baik itu melalui perjumpaan langsung para tokoh hingga penggunaan berbagai media seperti radio, televisi, Facebook, Twitter, dan Whatsapp.

Seolah tiba-tiba di perkampungan-perkampungan  di Tanah Air muncul kelompok-kelompok kecil orang yang mengusung semangat keislaman yang anti-keindonesiaan dan anti- praktik Islam Indonesia. Mereka sangat aktif, agresif, dan tegas menuding kesalahan-kesalahan umat Islam lainnya. Demokrasi "liar" dua dekade ini telah memberikan buahnya, yaitu menguatnya kelompok-kelompok yang anti-demokrasi dan anti-Indonesia di dalam masyarakat kita.

Lebih celaka lagi, ideologi Islam transnasional yang datang ke Tanah Air cenderung lahir dari wilayah-wilayah konflik di Timur Tengah. Karakter keislamannya pun adalah bernuansa konflik, baik dengan sesama Muslim maupun dengan yang lain. Secara umum, model keislaman ini tidak ramah terhadap demokrasi, negara bangsa, dan tradisi lokal. Penerimaan terhadap proses demokrasi biasanya hanya dalam konteks yang menguntungkan mereka, yaitu ketika ada political opportunity untuk merebut kekuasaan melalui pemilu.

Komitmen mereka terhadap keindonesiaan juga sangat rendah; untuk tidak dikatakan tak ada. Jika memiliki komitmen, setidaknya di permukaan, loyalitas mereka sering kali ganda, yaitu kepada negara-bangsa sekaligus kepada negara imajiner yang mereka cita-citakan.

Apakah benturan antara Islam Indonesia dan Islam transnasional yang terasa kian luas ini akan mengoyak sendi-sendi kehidupan bangsa ini? Kekhawatiran semacam itu jelas ada, apalagi benturan itu semakin muncul ke permukaan dan cenderung makin liar. Kehadiran negara tak bisa ditunda-tunda lagi. Kegamangan hanya akan semakin membawa kepada meluasnya persoalan dan memburuknya keadaan.

Hal yang sangat penting lain saat ini adalah konsolidasi Islam moderat di Tanah Air dan juga pembangunan jejaring yang kuat dengan Islam moderat di seluruh dunia Islam. Mayoritas umat Islam adalah moderat, baik di Indonesia maupun di negara lain. Tetapi, mayoritas itu diam, pasif, bahkan terpecah oleh perebutan kepentingan antar-elite mereka. Jika ada respons, maka respons itu terasa sporadis. Oleh karena itu, saat ini adalah momentum yang tepat untuk memulai kembali konsolidasi Islam moderat itu. Egoisme kelompok selama ini harus disingkirkan demi kepentingan masa depan Islam Indonesia dan bangsa ini.

Ibnu Burdah Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam, Dosen Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga

Kompas, 31 Mei 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Italia yang Anti-euro (Kompas)

REUTERS/ITALIAN PRESIDENTIAL PRESS OFFICE

Perdana Menteri Italia Giuseppe Conte (kanan) menggelar pertemuan dengan Presiden Italia Sergio Mattarella di Istana Quirinal Palace, Roma, Italia, Minggu (27/5/2018). Conte mundur setelah Mattarella menolak kabinet yang disusun pemerintahan Conte.

Italia kerap kali mengalami krisis politik yang berujung pada pergantian pemerintahan. Namun, krisis kali ini akan mengancam zona euro di Eropa.

Italia akan melaksanakan pemilu sela setelah pemerintahan baru gagal terbentuk pascapemilu Maret 2018. Selama lebih dari 11 pekan, Italia berada dalam kondisi "parlemen menggantung" karena partai politik peserta pemilu tidak mampu membentuk koalisi, akibat perbedaan mendasar pada program kerja.

Baru pekan lalu dua partai yang meraih suara terbanyak, Partai Populis 5 Bintang dan Partai Ekstrem Kanan Liga, sepakat untuk berkoalisi. Namun, koalisi kedua partai ini mencemaskan pasar keuangan internasional karena program kerja yang populis, anti-euro, anti-imigran, dan yang mengkhawatirkan, akan membuat anggaran negara jomplang.

Terkait itu, Presiden Italia Sergio Mattarella menolak susunan kabinet yang di dalamnya terdapat nama Paolo Savona sebagai Menteri Ekonomi. Alasannya, Mattarella ingin stabilitas ekonomi terjaga, sementara Savona sangat anti-euro dan memiliki agenda agar Italia meninggalkan mata uang euro dan kembali ke lira.

Oleh karena koalisi menolak bersepakat, Mattarella kemudian menunjuk pejabat Perdana Menteri (PM) Carlo Cottarelli untuk membentuk pemerintahan sementara sampai pemilu yang kemungkinan akan dilaksanakan sekitar Juli-Agustus.

Krisis politik Italia telah membuat pasar keuangan Eropa guncang dan mata uang euro melemah terhadap dollar Amerika Serikat (AS). Pelaksanaan pemilu sela kemungkinan tidak akan mengubah komposisi pemenang pemilu, bahkan kubu ekstrem kanan diperkirakan akan semakin kuat. Sampai-sampai pengamat menyamakan pemilu sela sebagai "referendum Italia terhadap zona euro".

Namun, mungkinkah Italia yang menjadi salah satu pendiri Uni Eropa meninggalkan euro atau bahkan blok Uni Eropa (UE)? Semua analisis menunjukkan bahwa jika Italia keluar dari zona euro negeri itu akan mengalami instabilitas ekonomi, bukan saja karena devaluasi mata uang, tetapi juga karena pertumbuhan ekonomi Italia yang rendah, tingginya angka pengangguran dan utang yang saat ini mencapai 250 miliar euro.

Persoalannya, kadang masyarakat lebih mengedepankan emosi daripada logika ketika membuat pilihan politik. Hal inilah yang dimanfaatkan partai-partai populis yang menggaungkan slogan "kedaulatan sendiri", "menolak dominasi Brussels", dan slogan populer lainnya untuk memengaruhi pilihan. Bahkan, jika kita sedikit kilas balik, hasil referendum Brexit pun pada 2016 diperkirakan akibat pilihan yang cenderung emosional daripada logis, akibat bombardir pemberitaan yang mengeksploitasi isu ancaman migran.

Bagi Uni Eropa kasus Italia akan menjadi tantangan berat, terlebih saat ini blok UE sedang menghadapi negosiasi Brexit dan krisis politik di Spanyol, di mana PM Mariano Rajoy terancam mosi tidak percaya dan semakin kuatnya gerakan separatisme di Catalonia. Semua ini sudah pasti akan menghambat rencana reformasi dan percepatan ekonomi Uni Eropa

Kompas, 31 Mei 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Benahi Komunikasi Politik (Kompas)

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Wakil Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Hariyono, Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Rosarita Niken Widiastuti, dan Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Sultonul Huda mengajak peserta diskusi untuk mempraktikan salam Pancasila dalam Forum Merdeka Barat 9 Kemenkominfo, di Gedung Serbaguna, Kementerian Kominfo, Jakarta, Rabu (30/5). Kegiatan yang bertajuk Merawat Keberagaman Menangkal Terorisme dan Radikalisme tersebut menjadi bagian dalam memperingati hari kelahiran Pancasila yang jatuh setiap 1 Juni.

Kritik berbagai pihak terhadap Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Jusuf Kalla sebenarnya lebih merupakan respons atas keputusan pemerintah itu sendiri.

Terakhir, kontroversi soal "gaji" Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) sebesar Rp 112 juta dan anggota Dewan Pengarah sebesar Rp 100 juta menuai kritik tajam. Kritik itu berkembang liar dan menyerang integritas para tokoh bangsa yang ada di sana. Kegaduhan pun terjadi.

Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2018 yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 23 Mei 2018 disertai lampiran bertajuk "Hak Keuangan dan Fasilitas Lain Pejabat BPIP". Diksi "gaji" ternyata terasa lebih cepat beredar dan dipercaya karena lebih mudah dipahami dibandingkan dengan diksi "hak keuangan".

Pihak oposisi dan pengamat mengkritik peraturan presiden itu dalam berbagai sudut pandang. Presiden Joko Widodo berkomentar pendek soal kontroversi itu. "Itu kan ada mekanismenya. Soal analisis jabatan itu di Kemenpan, kemudian gaji yang mengalkulasi, Kemenkeu. Sekali lagi, itu bukan itung-itungan kami, lho, ya" (Kompas, 30 Mei 2018).

Dewan Pengarah BPIP merasa gerah dengan kritik bertubi. Anggota Dewan Pengarah, Mahfud MD, sampai harus merespons kritik bertubi melalui akun Twitter miliknya. Intinya, Mahfud tidak pernah meminta gaji dan selama ini juga tidak pernah menerima gaji. Apa yang disebut gaji itu pun tidak sepenuhnya tepat karena yang dimaksud adalah biaya operasional dan biaya lainnya. Bahkan, Mahfud mempersilakan masyarakat menggugat perpres itu ke Mahkamah Agung.

Dalam kesempatan berbeda, Menteri Keuangan Sri Mulyani menambahkan penjelasan, hak keuangan itu terjadi dari berbagai macam komponen, seperti gaji, uang asuransi, tunjangan jabatan. Gaji pokok sama dengan pejabat negara lain, yakni Rp 5 juta dan tunjangan jabatan sebesar Rp 13 juta, ada juga biaya asuransi yang besarnya Rp 5 juta dan uang kegiatan operasional.

Distorsi informasi ini bukan pertama kali terjadi. Distorsi informasi kerap terjadi karena pemerintah sepertinya tidak memandang pentingnya komunikasi publik. Teks seperti dalam kasus peraturan presiden selalu tidak disertai konteks yang melatarbelakanginya. Akibatnya, konteks diberikan pengamat ataupun pihak oposisi. Terserah bagaimana mereka mau memaknai keputusan itu. Manajemen risiko terhadap citra pemerintah sepertinya juga tidak menjadi perhatian sebelum kebijakan publik diambil dan dikomunikasikan kepada publik.

Pada tahun serba politik ini, kita mau ingatkan lagi soal manajemen komunikasi pemerintah. Tanpa adanya komunikasi politik yang baik, pemerintah bisa kian dihujani kritik dan kecaman. Pada akhirnya, itu bisa mengganggu persepsi publik pada pola bagaimana pemerintahan Presiden Jokowi-Wapres Jusuf Kalla mengelola negara.

Pemberian "hak keuangan dan fasilitas lain bagi pejabat BPIP" dalam jumlah cukup besar, tanpa ada penjelasan apa pun, bisa saja mengganggu perasaan masyarakat. Kemungkinan kebijakan itu dikritik seharusnya sudah dipertimbangkan dan dicari bagaimana mengantisipasinya.

Kompas, 31 Mei 2018



Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ANALISIS POLITIK: Gema Orkestra Pancasila (J KRISTIADI)

KOMPAS/HERU SRI KUMORO (KUM)

J Kristiadi

Di tengah teriknya suhu politik pada tahun politik yang sarat dengan berbagai idiom politik yang dapat menyesatkan publik, saling sindir dan jegal para politisi terhadap lawan politiknya, gemuruh viral hoaks yang mengeruhkan dunia maya; sayup-sayup terdengar gema orkestra yang melantunkan bait-bait nilai-nilai mulia bangsa, Pancasila. Dengung kemuliaan nilai-nilai bangsa berhasil menyusup di sela-sela amukan wacana publik yang hampir kehilangan kewarasannya. Kidung tersebut adalah kesepakatan dan disahkannya regulasi yang mengatur tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (selanjutnya disebut UU PTPT).

Berkat kesungguhan dan komitmen negara, pemerintah, dan DPR, dalam hitungan minggu, regulasi tersebut tidak hanya disepakati dan disahkan secara aklamasi oleh semua fraksi di DPR, termasuk fraksi "oposisi", tetapi juga dukungan publik dari berbagai kalangan. Ungkapan Azyumardi Azra, intelektual terkemuka yang sangat santun dan bijak, kiranya dapat mewakili suasana kebatinan publik: "Negara sudah seharusnya bertindak lebih tegas terhadap terorisme, apalagi bagi mereka yang pernah ikut latihan berperang di NIIS, Indonesia harus lebih tegas. Selama ini Indonesia terlalu lunak menghadapi terorisme" (Kompas, Sabtu, 26 Mei 2018).

Orkestra tersebut terasa semakin merdu dan mendayu karena negara tetap membuka ruang bagi masyarakat untuk mengawal dan memberikan catatan kritis dalam pelaksanaannya. Karena itu, pada peringatan Hari Pancasila besok (Jumat, 1 Juni 2018), rakyat tidak hanya disuguhi upacara dan pekik retorika, tetapi juga karya nyata berupa regulasi yang dapat diharapkan meredam aksi teror yang telah merenggut ribuan nyawa dalam beberapa dasawarsa belakangan ini. Namun, UU PTPT, meskipun cukup komprehensif, bukan peluru perak (silver bullet), senjata ampuh, yang dapat menjadi solusi instan menyelesaikan persoalan yang rumit. Oleh karena itu, sangat diperlukan kebijakan yang lebih komprehensif.

Fenomena itu membuktikan bangsa Indonesia jika bersatu mempunyai energi luar biasa yang mampu mengatasi krisis yang mengancam kelangsungan hidup bangsa dan negara. Sayangnya, energi itu baru menggelegak jika distimulus oleh tragedi kasatmata, seperti ledakan bom di Surabaya dan sekitarnya yang dilakukan oleh semua anggota keluarga pelaku.

Padahal, ancaman bangsa dan negara yang tidak kalah daya rusaknya adalah proses pembusukan lembaga politik dan negara akibat perilaku korup para pemutus politik dan penyelenggara negara. Namun, karena ancaman itu berkaitan dengan tingkat kenyamanan yang memabukkan, gelegak kesadaran kolektif mereka untuk memadamkan api nafsu korupsi sangat lembek.

Rakyat sangat berharap agar momentum lantunan gita orkestra Pancasila dapat dirawat mengingat agenda pemberantasan terorisme tidak dapat hanya mengandalkan UU PTPT, tetapi harus dilakukan secara menyeluruh. Untuk itu, diperlukan metanarasi (grand story) karena fenomena terorisme di Indonesia mempunyai ideologi "konter narasi" terhadap Pancasila, bahkan menjungkirbalikkan nilai-nilai kemanusiaan.

Misalnya, pelaku teror dicekoki pemahaman, kematian itu agung. Karena itu, harus lebih memuliakan kematian daripada kehidupan. Kematian adalah seni yang indah untuk dinikmati karena merupakan jalan cepat mencapai tujuan hidup hakiki. Namun, yang juga mengkhawatirkan, mereka berhasil membentuk masyarakat alternatif dengan simbol, atribut, serta narasi-narasi yang menegaskan identitas mereka berbeda dengan lainnya. Aksioma "kita" dan "mereka" akan membelah masyarakat.

Banyak kajian menyimpulkan, lahirnya terorisme, meskipun multidimensi, salah satu kausa penting adalah keputusasaan yang disertai dengan jurang menganga antara harapan yang semakin meningkat dan kesempatan yang semakin menyempit. Oleh karena itu, agenda konkretnya bukan melakukan kontemplasi, melainkan harus diawali dengan keberanian melawan perilaku sektarian, diskriminatif, intoleransi, dan politik identitas.

Dalam perspektif makro, terorisme harus dilawan dengan metanarasi yang lebih dahsyat untuk mengungguli kisah yang merupakan dongeng heroisme yang menjadi keyakinan para pelaku terorisme. Selain itu, metanarasi juga sangat diperlukan bangsa Indonesia untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan; serta memperjelas posisi bangsa Indonesia dalam tataran global sebagaimana diamanatkan konstitusi, melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Bangsa yang tidak mempunyai metanarasi atau tidak memercayai serta menghayati metanarasinya akan linglung, bingung, dan sempoyongan menghadapi dunia yang semakin tidak menentu. Karena itu, para elite bangsa diharapkan agresif menawarkan metanarasi dengan idiom-idiom yang dapat menggerakkan bangsa mewujudkan cita-cita nasional. Momentum bahana orkestra Pancasila jangan dibiarkan menguap begitu saja. Khususnya para pemutus politik harus selalu ingat ancaman yang tidak kalah daya rusaknya selain terorisme, yakni kenyamanan eksesif yang diproduksi perilaku korup
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Setelah AS Mengkhianati Iran (SMITH ALHADAR)

Kendati sudah diprediksi, mundurnya AS dari Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) atau kesepakatan nuklir Iran tetap saja mengagetkan. Pasalnya, kesepakatan nuklir Iran dibuat antara Iran dengan AS, Rusia, Inggris, Perancis, China, dan Jerman setelah negosiasi bertahun-tahun.
REUTERS/TASNIM NEWS AGENCY

Perempuan Iran turut serta dalam aksi memprotes kebijakan Presiden AS Donald Trump yang menarik Amerika Serikat keluar dari kesepakatan nuklir tahun 2015. Unjuk rasa itu digelar pada Jumat (11/5/2018) di Teheran, Iran.

Dalam kesepakatan ini, Iran menyetujui membatasi pengayaan uranium dan berjanji tidak akan membuat bom nuklir selama 10 tahun dari sejak kesepakatan ditandatangani, 2015. Sebagai imbalan, sanksi ekonomi internasional dicabut.
Presiden AS Donald Trump sejak awal mengkritik JCPOA, karena dianggap terlalu menguntungkan Iran. Pencairan dana milik Iran 110 miliar dollar AS yang dibekukan bank-bank negara Barat dan keleluasaan Iran mengekspor minyak dianggap meluaskan pengaruh Iran.

Arab Saudi dan Israel mendukung Trump membatalkan kesepakatan. Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman (MBS), yang sangat dekat dengan Israel, mendesak Trump menjatuhkan  sanksi pada Iran.

Senjata nuklir

April lalu, di televisi Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, mengklaim bahwa intelijen Israel menemukan puluhan ribu dokumen, bukti Iran masih membuat senjata nuklir. Hal ini mengingatkan kita pada pernyataan bohong Perdana Menteri Inggris Tony Blair, 2003, bahwa Irak di bawah Presiden Saddam Hussein dapat membuat senjata kimia dalam waktu 45 menit.


Terkait pernyataan Netanyahu, Gedung Putih secara resmi menyatakan, AS sepakat dengan Netanyahu. Gedung Putih tampaknya sedang mencari legitimasi untuk menghukum Iran.

Namun, presentasi Netanyahu mendapat tanggapan minor termasuk dari UE, China, Rusia, dan IAEA. IAEA menyatakan tidak ada bukti kuat yang menunjukkan Iran sedang mengembangkan senjata nuklir.

Hal yang sama dinyatakan Inggris, Perancis, dan Jerman. Mereka bahkan meminta AS mempertahankan kesepakatan karena tidak ada alternatif yang tersedia. Mundur dari JCPOA bisa memicu konflik militer saat Timur Tengah tak lagi mampu mendukung perang baru.

Tuduhan bahwa Iran memainkan peran destabilisasi kawasan tidak seluruhnya benar. Faktor destabilisasi utama Timur Tengah adalah isu Palestina di mana Israel terus melanggar sejumlah resolusi PBB. Israel pun tidak memiliki otoritas dalam hal senjata nuklir karena tidak menandatangani Perjanjian Nonproliferasi Nuklir (NPT) dan memiliki 200-an hulu ledak nuklir.

AFP

Seorang penjaga keamanan Iran berdiri di dekat kerumunan
wartawan di luar pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di
Bushehr, Iran Selatan, 21 Agustus 2010.

Pemerintahan Trump bahkan ikut mendestabilisasi Timur Tengah dengan pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel yang diikuti pemindahan kedutaan besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem. Hal ini bertentangan dengan semua hukum internasional dan mencederai proses perdamaian Israel-Palestina.

Ada beberapa alasan mengapa AS, Israel, dan Arab Saudi memusuhi Iran. Pertama, Saudi kalah pengaruh dari Iran di kawasan. Pasca-invasi AS ke Irak pada 2003, Irak menjadi rebutan Iran dan negara-negara Arab Teluk. Iran menang setelah AS menarik pasukan dari  Irak 2011.

Arab Teluk pun kalah setelah proksi mereka, yang umumnya kalangan Arab Sunni, lenyap digantikan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Di Suriah, Iran bersama Rusia semakin jauh menanam pengaruh setelah kelompok oposisi dukungan Saudi, Turki, dan AS, kedodoran menghadapi pasukan rezim Presiden Bashar al-Assad dukungan militer Iran dan Rusia. Saudi juga gagal menyingkirkan Hezbollah—dukungan Iran—di Lebanon, dari pemerintahan.

Bahkan, sekutu Saudi Perdana Menteri Saad al-Hariri, tidak akan terpilih lagi sebagai perdana menteri karena perolehan suara partainya (Gerakan Masa Depan) anjlok dalam pemilu 6 Mei lalu.

ARSIP KOMPAS/AP PHOTO/TELLAWI BASSEM

Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad (kanan) dan Presiden Suriah Bashar al-Assad melintasi pasukan kehormatan di istana Ash Shaeb Damascus, Kamis (19/1/2006). Suriah kemarin menegaskan dukungannya terhadap program nuklir Iran.
AP PHOTO/TELLAWI BASSEM
*** Local Caption *** Iranian President Mahmoud Ahmadinejad, right, and Syrian President Bashar Assad review an honour guard at the Ash Shaeb presidential palace in Damascus Thursday Jan. 19, 2006. Syria on Thursday backed ally Iran in its confrontation with the West over its nuclear program, saying critics have provided no convincing argument to deny Tehran the technology. The Syrian support came at a summit of the nation's two presidents to coordinate policies and consolidate their alliance under the shadow of U.S. pressure and the threat of international sanctions against both.

Di Yaman, kendati sudah lebih tiga tahun Saudi memimpin koalisi Arab memerangi milisi Houthi dukungan Iran, sampai saat ini tidak ada tanda-tanda Houthi akan menyerah. Komunitas internasional malah semakin kuat menekan Saudi agar mengakhiri perang di negara termiskin di Jazirah Arab itu.
Mendukung Palestina

Kedua, Iran menentang hegemoni AS di kawasan, menolak eksistensi Israel, dan mendukung perjuangan bersenjata Palestina. Iran berhasil menarik simpati masyarakat Muslim global dan membuat Jalur Gaza tetap bergolak. Simpati ini akan meluas saat AS menyodorkan "kesepakatan abad ini" yang didukung Saudi di mana Palestina kehilangan Yerusalem Timur, sebagian Tepi Barat, dan tertolaknya pengungsi Palestina kembali ke kampung halaman.

Ketiga, menciptakan pasar senjata di Timur Tengah. Negara-negara Arab Teluk, khususnya Saudi menghabiskan puluhan miliar dollar AS per tahun untuk belanja militer dengan dalih menghadapi ancaman Iran. Tahun lalu Saudi merupakan negara dengan belanja militer terbesar ketiga setelah AS dan China. AS pemasok terbesar ke Saudi.

Keempat, upaya perubahan rezim di Iran. Dengan sanksi ketat atas Iran, Trump berharap pada akhirnya Teheran bersedia menerima perubahan JCPOA. Terlebih, rakyat Iran kini sedang menghadapi ekonomi sulit.
Akhir Desember sampai awal Januari, rakyat Iran sampai berdemonstrasi di 80 kota, menuntut pemerintah berhenti membantu Suriah 6- 20 miliar dollar AS per tahun, jumlah yang besar untuk Iran.

REUTERS/FAISAL AL NASSER

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo, Minggu (29/4/2018), menggelar jumpa pers bersama mitranya, Menteri Luar Negeri Arab Saudi Adel al-Jubeir di Riyadh, Arab Saudi. Amerika Serikat masih berkeras ingin mundur dari kesepakatan nuklir Iran. Kesepakatan itu dinilai tidak mengubah perilaku Iran.

Untuk mengganti rezim Iran, Washington mengandalkan Mujahidin-e Khalq (MEK), oposisi Iran di pengasingan pimpinan Maryam Rajavi. Sebenarnya, MEK yang berideologi Islam-Marxis merupakan musuh AS sejak zaman Shah Iran. Namun, pada 2012 di masa pemerintahan Presiden Barack Obama, AS merangkul MEK yang berbasis di Perancis.

Trump ingin menambahkan persyaratan baru ke dalam JCPOA, yakni Iran menghentikan program rudal balistiknya, IAEA memperoleh akses tak terbatas terhadap seluruh area di Iran, termasuk area militer, dan pembatasan program nuklir Iran dibuat permanen.
Perubahan ini tidak dapat diterima Iran. Memang tidak masuk akal menghentikan program rudal balistik Iran saat AS dan sekutunya menimbun kekuatan militer di Teluk Persia,
Laut Tengah, dan Turki. Apalagi Israel mengancam menyerang Iran.

Menghadapi mundurnya AS dari JCPOA, ada dua respons yang akan diambil oleh Teheran. Pertama,  Iran tetap patuh pada kesepakatan. Ini karena Inggris, Perancis, dan Jerman berpihak padanya, selain Rusia dan China. Tindakan ini akan mengisolasi AS dan menarik simpati internasional. Sebagai upaya membujuk Iran agar tetap dalam kesepakatan, Eropa  mengusulkan agar kerja sama perdagangan non-militer tetap berlanjut.

Teheran menyetujui inisiatif Eropa ini meski menyadari hal itu tidak mudah karena sistem keuangan global saat ini sangat terkoneksi satu sama lain. Hampir mustahil pihak mana pun di dunia melanjutkan bisnis dengan Iran tanpa risiko melanggar sanksi yang diterapkan AS.

Kedua, kalau ternyata dengan tetap berkomitmen pada kesepakatan dan ekspektasi Iran tidak terpenuhi, Iran akan mencampakkan JCPOA dengan mengambil jalan keras. Tetapi aksi ini akan membuka jalan bagi terjadinya perang. AS, Israel, dan Saudi tidak akan menoleransi Iran memiliki senjata nuklir.

 

SMITH ALHADAR, DIREKTUR EKSEKUTIF INSTITUTE FOR DEMOCRACY EDUCATION

Kompas, 31 Mei 2018



Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Bersatu Berbagi Prestasi (YUDI LATIF)

Yudi Latif
Direktur REFORM Institute
Kompas/Raditya Helabumi (RAD)
22-05-2012

Pada 1 Juni 1945, dalam mengawali uraiannya tentang dasar negara, Soekarno menyerukan "bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan faham."

Lantas ia katakan, "Kita bersama- sama mencari persatuan Philosophische grondslag, mencari satu 'Weltanschauung' yang kita semuanya setuju. Saya katakan lagi setuju! Yang saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hadjar setujui, yang saudara Sanoesi setujui, yang saudara Abikoesno setujui, yang saudara Lim Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus."

Kemudian, ia mengajukan lima prinsip yang menjadi titik "persetujuan" (titik temu, titik tumpu, titik tuju) segenap elemen bangsa. Kelima prinsip tersebut bernama Pancasila. Demikianlah, dasar ontologis (struktur makna terdalam) dari keberadaan Pancasila adalah kehendak mencari "persetujuan" dalam menghadirkan kemaslahatan-kebahagiaan bersama (al-masalahah al-ammah, bonnum comune) dalam kehidupan kebangsaan Indonesia yang majemuk.

Setiap kali kita kembali ke 1 Juni (Hari Lahir Pancasila), setiap kali itu pula diingatkan untuk kembali menghayati struktur makna terdalam dari keberadaan Pancasila. Kembali mempertanyakan titik temu, titik tumpu, dan titik tuju kita bersama, di tengah kemungkinan keterpecahan, kerapuhan landasan, dan disorientasi yang melanda kehidupan kebangsaan.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Deklarasi Pancasila – Mahasiswa bersama Kepala Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila Yudi Latief (berkacamata, kiri) melakukan Deklarasi Pancasila di kampus Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Mrican, Yogyakarta, Senin (21/5/2018). Selain untuk menyambut Bulan Pancasila pada Juni mendatang, kegiatan tersebut juga untuk memperkuat penanaman nilai-nilai Pancasila pada generasi muda.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
21-05-2018

Prinsip persetujuan itu memang harus tetap mengacu pada Pancasila, tetapi kontekstualisasinya harus mempertimbangkan faktor ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan agar Pancasila bisa responsif dengan perkembangan zaman.

Dalam konteks Indonesia hari ini, bagaimana kita bisa mencari persetujuan bagi kemaslahatan umum di tengah kemunduran kecerdasan kehidupan bangsa. Persetujuan memerlukan kemampuan merumuskan substansi dan argumentasi.

Kita sekarang hidup di tengah buih keterapungan. Saat ucapan bergelembung tanpa isi yang bisa ditangkap. Kritik teringkus sebatas caci-maki tanpa solusi. Makna menguap dalam keriuhan viral maya. Di seantero negeri, kedalaman dihindari, kedangkalan dirayakan. Ke mana saja menghadap, sampah berserakan mengguritai wajah negeri. Segala yang inti sejati tertindih tersingkir di belam sunyi.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Sosialisasi 4 Pilar MPR RI dan Praktik Pancasila – Para siswa menunjukkan buku berjudul "Cahaya Bineka, Taman Bangsa: Nilai Pancasila dalam Laku Pendidikan" dalam acara Sosialisasi 4 Pilar MPR RI dan Deklarasi Praktik Pendidikan Pancasila di Sekolah di Gedung Nusantara IV, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (2/5). Kegiatan tersebut dimotori oleh MPR RI bersama Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Kaukus Pancasila DPR, dan Yayasan Cahaya Guru…KOMPAS/WAWAN H PRABOWO (WAK).02-05-2018

Persetujuan memerlukan rasa saling percaya, yang tumbuh dari keadaban publik. Adapun yang berkembang di sini adalah kesalingtidakpercayaan secara paripurna, baik dalam relasi antar-elite, antara elite dan rakyat, maupun antar-sesama rakyat. Semuanya itu terjadi karena menurunnya nalar etis dalam kehidupan politik.

Setelah 20 tahun demokrasi reformasi digulirkan, politik sebagai teknik mengalami pencanggihan, tetapi politik sebagai etik mengalami kemunduran. Banjir uang ke dunia politik hari ini membawa polusi pada demokrasi dan kehidupan publik. Segala nilai dikonversikan jadi nilai uang. Relasi publik menjadi hubungan konsumtif. Politik mengalami konsumerisasi dan privatisasi.

Pengibaran citra-diri menggantikan kualitas jati-diri.
Sihir moneter ini bahkan menembus  jantung pertahanan sipil. Masyarakat madani sebagai reservoir nilai sipilitas dan kesukarelaan jebol ketika uang jadi penentu, bahkan dalam pemilihan pemimpin ormas keagamaan. Dalam kehidupan publik yang sehat, ada banyak hal yang tak bisa dibeli dengan uang.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Menguatkan Nilai Pancasila – Ketua Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP PIP) Yudi Latif (dua dari kiri) didampingi Anggota Dewan Pengarah UKP PIP Tri Sutrisno (tiga dari kiri) dan Mahfud MD (empat dari kiri) serta Penasehat Kepala UKP PIP Romo Benny Susetyo (kanan) mengucapkan selamat Tahun Baru Imlek saat mengunjungi Keleteng Cin Tek Yen atau Wihara Dharma Bakti di kawasan Petak Sembilan, Glodok, Jakarta Barat, Jumat (16/2). Kunjungan tersebut merupakan wujud komitmen Tim UKP PIP untuk menguatkan nilai-nilai Pancasila utamanya soal keberagaman umat beragama. (Ilustrasi)
Kompas/Wawan H Prabowo (WAK)
16-02-2018

Kini, cuma sedikit yang masih  tersisa. Rasa saling percaya lenyap karena sumpah dan keimanan disalahgunakan, hukum dan institusi lumpuh karena "diperjualbelikan"; keteladanan kemarau karena kebaikan dimusuhi, kejahatan diagungkan.

Persetujuan memerlukan kecerdasan empati, yakni kesanggupan tepa salira untuk bisa menempatkan diri dalam situasi orang lain. Namun, mana mungkin kepekaan bisa diasah jika proses pendidikan lebih mengutamakan kecerdasan dalam "kedirian yang bersifat privat" (private self), seperti penekanan pada pelajaran yang bersifat hard skill. Kecerdasan empati memerlukan perhatian pada kecerdasan dalam "kedirian yang bersifat publik" (public self) yang mengarah pada "kecerdasan kewargaan" (civic intelligence).

Pendidikan harus menumbuhkan kompetensi warga untuk mengemban tugas kewargaan (civic duty), memahami kewajiban dan hak warga, mampu menempatkan keunggulan pribadi dalam harmoni-kemajuan bersama, bisa mencari titik temu dalam perbedaan, dan memenuhi panggilan keterlibatan dalam urusan publik secara sukacita (civic joy).

Pengembangan "kecerdasan kewargaan" lebih fundamental bagi suatu bangsa yang majemuk. Dalam masyarakat plural, warga bisa hidup berdampingan, tetapi sulit menyatu ke dalam suatu entitas politik terkendala kemusykilan menentukan kehendak bersama dan kebajikan bersama. Dalam konteks itu, pengembangan jati diri bukan saja harus memberi wahana kepada setiap individu untuk mengenali siapa dirinya sebagai "perwujudan khusus" ("diferensiasi") dari alam.

Lima jalur

Pancasila sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem perilaku bersama ini secara keseluruhan membentuk lingkungan sosial yang dapat menentukan apakah disposisi karakter perseorangan berkembang menjadi lebih baik atau lebih buruk. Maka dari itu, pengembangan "kecerdasan kewargaan" berbasis Pancasila merupakan kunci integrasi dan kemajuan bangsa. Namun, justru pada titik itulah simpul terlemah dari proses pendidikan dan pembangunan selama ini.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Pelajar melintas di depan mural mantan presiden Soekarno, NKRI, dan Pancasila di Segara Makmur, Tarumajaya, Bekasi, Jawa Barat, Kamis (15/2). Mural kepahlawanan dan nasionalisme banyak menghiasai jalan kampung untuk mengingatkan anak-anak masa perjuangan kemerdekaan.
Kompas/Agus Susanto (AGS)
15-02-2018

Persetujuan butuh keyakinan bahwa dengan bersatu kita bisa meraih kemajuan dan persemakmuran bersama. Bangsa yang tak bisa menunjukkan prestasi dalam peradaban dan kemakmuran tidak memberi kebanggaan pada anak-anak bangsanya.

Bangsa yang tidak merasa bangga pada dirinya cenderung mengembangkan sikap nyinyir, saling menjatuhkan, dan saling tidak percaya pada apa pun dan siapa pun. Bangsa yang tidak mampu meningkatkan kemakmuran secara merata cenderung mengarah pada eksklusivisme primordial  yang mengarah pada disintegrasi bangsa.

Berdiri di awal milenium baru, menyaksikan arus globalisasi yang makin luas cakupannya, dalam penetrasinya dan instan kecepatannya mengusik rasa hirau kita, apa kebanggaan Indonesia di pentas dunia? Untuk itu, kita perlu "senjata" baru, cara pengucapan baru, dan karisma pengubah sejarah yang baru. Ilmu dan teknologi, daya kreasi yang berbasis etos dan etis-estetis yang mewujud ke dalam kualitas manusia unggul adalah senjata, bahasa, dan karisma baru kita untuk memenangi masa depan.

KOMPAS/DHANANG DAVID ARITONANG

Seminar Membumikan Pancasila, Merawat Kebinekaan di Jakarta, Senin (30/04/2018)

Persetujuan akan kemaslahatan bersama juga mengalami tantangan dari peruncingan konflik nilai yang ditimbulkan oleh pluralisasi ideologi sebagai imbas globalisasi. Selain menimbulkan gejala ketercerabutan (deprivasi) sosial, hidup dalam era globalisasi juga diwarnai kesenjangan kemakmuran antara "the winners" dan "the losers" bersamaan dengan gerak interpenetrasi berbagai ideologi-budaya yang menyebabkan terjadinya diferensiasi dan fragmentasi dalam pandangan dunia.

Bagi Indonesia, intensitas arus globalisasi yang berbarengan dengan demokratisasi era Reformasi juga ditandai oleh situasi paradoks: tatkala Pancasila "ditinggalkan", ideologi lain merebak di ruang publik.

Gelombang pasang militansi ideologi-ideologi divergen di tengah surutnya ideologi konvergen (Pancasila) meledakkan ekstremisme di ruang publik. Ditilik dari sudut ini, ekstremisme dan terorisme bangkit sebagai cerminan kelalaian dan kelemahan kita membumikan Pancasila sebagai ideologi kerja (working ideology).

Pelajar mengikuti Lomba Pidato dan Yel-Yel yang diselenggrakan untuk menyambut Hari Kesaktian Pancasila di Balai Pemuda Surabaya, Senin (1/10). Lomba untuk mengingatkan kembali dan mengambil pelajaran tentang sejarah kelam yang pernah terjadi dalam mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara.
Kompas/Bahana Patria Gupta (BAH)
01-10-2012

Jika Pancasila dikehendaki kesaktiannya sebagai ideologi kerja, ada lima jalur yang harus ditempuh. Pertama, melakukan revitalisasi dan reaktualisasi pemahaman terhadap Pancasila dengan melakukan penyegaran materi sosialisasi, pelurusan sejarah Pancasila, hingga penyegaran metode sosialisasi dan pedagogi Pancasila.

Kedua, mengembangkan kerukunan (inklusi sosial) di tengah masyarakat melalui penumbuhan budaya kewargaan berbasis nilai-nilai Pancasila, serta penguatan dialog lintas agama, suku, ras, dan golongan.

Ketiga, mendorong terwujudnya keadilan sosial melalui perumusan sistem ekonomi dan pembangunan berbasis nilai-nilai Pancasila, serta perajutan kemitraan ekonomi demi terbangunnya praktik ekonomi berkeadilan sosial.

Untuk pertama kalinya Kabupaten Ende di NTT merayakan Hari Kelahiran Pancasila dirangkai dengan prosesi kebangsaan. Wujudnya berupa arakan patung Garuda Pancasila dari Pulau Ende ke Kota Ende, Sabtu (31/5). Prosesi itu sekaligus mengenang pengasingan Bung Karno di Ende, 1934-1938.
Kompas/Frans Sarong (ANS)
31-05-2014
dukung ficer prosesi kebangsaan ende

Keempat, menguatkan internalisasi nilai-nilai Pancasila ke produk perundang-undangan, kebijakan publik serta lembaga kenegaraan dan kemasyarakatan. Kelima, menumbuhkan, mempromosikan, dan mengapresiasi keteladanan agen-agen kenegaraan dan kemasyarakatan dalam mengamalkan nilai-nilai Pancasila.

Dari jalur pemahaman diharapkan bisa mengarah pada Indonesia cerdas kewargaan. Jalur kerukunan mengarah pada Indonesia bersatu. Jalur keadilan mengarah pada Indonesia berbagi sejahtera. Jalur pelembagaan mengarah pada Indonesia tertata-terlembaga. Jalur keteladanan mengarah pada Indonesia terpuji.

Pesan moral

Peringatan Hari Lahir Pancasila tahun ini momen istimewa sebagai wahana refleksi diri karena persentuhannya dengan berbagai peristiwa keagamaan dan kebangsaan. Umat Islam sedang menjalankan ibadah puasa, dan umat Buddha merayakan Trisuci Waisak. Rangkaian perayaan Hari Lahir Pancasila, yang dimulai 1 Juni hingga 18 Agustus 2018, juga bersentuhan dengan momen padat politik pilkada di sejumlah wilayah serta menjelang Pemilu 2019. Kita juga akan menyongsong Hari Kemerdekaan RI serta penyelenggaraan Asian Games.

Pesan moral dari semua peristiwa dan peringatan ini adalah seruan untuk menggelorakan semangat bersatu, berbagi, dan berprestasi. Bersatu artinya kita kembangkan kembali spirit Bhinneka Tunggal Ika. Keragaman yang terbentang sepanjang garis khatulistiwa tak boleh jadi alasan untuk saling membenci, tetapi justru menjadi daya perekat bangsa. "Bersatu dalam keragaman dan beragam dalam persatuan".

Siswa SMP dan SMK Plus Lengkong Mandiri di Kelurahan Lengkong Wetan, Kecamatan Serpong, Tangerang Selatan, Kamis (2/6) tengah menampilkan kesenian khas Betawi dalam acara pencanangan Kampung Pancasila. Di sekolah yang didirikan oleh Yayasan Bangun Bina Anak Indonesia, anak-anak warga asli Lengkong dididik dengan menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila untuk menjadi setara dengan yang lain.
Kompas/Amanda Putri (UTI)
02-06-2016

Untuk itu, kita harus memperkuat kecerdasan kewargaan dengan mengasah nalar etis dan bela rasa dalam wujud "kebajikan kewargaan" (the virtue of civility), yakni rasa pertautan dan kemitraan di antara ragam perbedaan serta kesediaan untuk berbagi substansi bersama, melampaui kepentingan kelompok, untuk kemudian melunakkan dan menyerahkannya secara toleran kepada tertib sipil.

Berbagi artinya kita kembangkan etos kepedulian, welas asih. Satu sama lain menjadi saudara dari keluarga besar keindonesiaan. Berbagi sejatinya merupakan sari pati nilai-nilai Pancasila itu sendiri, yakni gotong royong. Dalam berbagi ada semangat saling memberi dan menerima; berat sama dipikul, ringan sama dijinjing; menyelesaikan persoalan lewat musyawarah dan mufakat.

Di dalamnya tersimpan pula makna yang senantiasa harus kita aktifkan: menebarkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bahwa setiap warga negara dijamin hak hidup, hak milik, dan kehormatannya, dengan pelayanan publik yang setara.

Warga menyaksikan kemegahan Monumen Pancasila Sakti yang berada di lokasi sumur maut tempat dikuburnya Pahlawan Revolusi dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 di Desa Lubang Buaya, Cipayung, Jakarta Timur, Sabtu (29/9).
Kompas/Priyombodo (PRI)

Berprestasi merupakan wujud aktualisasi kebebasan positif, dalam rangka mengembangkan potensi insani dan potensi kolektif bangsa, dalam usaha mencapai cita-cita nasional. Berprestasi menjadi hal penting bagi semangat kita untuk terus memberikan karya dan pelayanan terbaik bagi masyarakat, bangsa, bahkan kemanusiaan secara global.

Di tengah kondisi bangsa yang sedang diuji letupan konflik akibat benturan kepentingan dan pemahaman; seruan bersatu, berbagi, dan berprestasi, menjadi ajakan yang tak hanya mendamaikan, tetapi juga mengajak kita keluar dari kemelut pertikaian menuju prestasi positif bagi kemajuan bangsa.

Atas dasar itu, tema peringatan Hari Lahir Pancasila tahun ini adalah "Kita Pancasila: Bersatu, Berbagi, dan Berprestasi". Melalui tema ini, kita diingatkan bahwa kesaktian Pancasila perlu perhatian simultan terhadap masalah persatuan dan keadilan. Kita tak bisa memperjuangkan persatuan dengan mengorbankan keadilan; sebaliknya, tak bisa memperjuangkan keadilan dengan mengorbankan persatuan. Keduanya ibarat sepasang sayap garuda yang harus bergerak secara serempak.

Pokok pikiran pertama Pembukaan Konstitusi Proklamasi menggariskan misi (fungsi) negara untuk "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan, dengan mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia".

Dua pesilat memperagakan jurus di hadapan sejumlah anggota organisasi kepemudaan Nahdlatul Ulama (NU) Barisan Ansor Serbaguna (Banser) usai mengikuti apel kesetiaan Pancasila di halaman gedung sekertariat NU Kabupaten Kediri, Jawa Timur, Minggu (29/5). Kegiatan yang melibatkan sedikitnya 500 anggota Banser tersebut guna memperingati hari kelahiran Pancasila sekaligus sebagai pernyataan sikap menjaga Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.
Antara/Prasetia Fauzani
29-05-2016

Dalam Pancasila, sila kerakyatan didahului dengan sila persatuan, dan diakhiri oleh sila keadilan. Itu berarti, tanpa prasyarat integrasi nasional, mengembangkan demokrasi ibarat menegakkan benang basah. Saat yang sama, demokrasi yang tidak mendorong keadilan sosial malah memperluas kesenjangan sosial, bisa melahirkan frustrasi sosial yang bisa berbalik menikam demokrasi.

Hanya dengan menguatkan semangat bersatu dan berbagi kita bisa meraih prestasi kehidupan bangsa di berbagai bidang. Prestasi dalam mewujudkan cita-cita nasional menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Prestasi dalam kerangka persetujuan menghadirkan kemaslahatan-kebahagiaan hidup bersama. Ini impian kita bersama, sebagaimana diwakili tekad Bung Hatta, "Aku ingin membangun dunia di mana semua orang merasa bahagia di dalamnya."

YUDI LATIF KEPALA BADAN PEMBINAAN IDEOLOGI PANCASILA

Kompas, 31 Mei 2018



Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Powered By Blogger