Dalam kurun kurang dari empat tahun terakhir, bangsa Indonesia diajak dua kali berevolusi. Namun, seenteng pemakaiannya, tampaknya seencer itu pula pemahamannya.

Sebagaimana cairnya makna dan bentuk revolusi mental yang disajikan terlebih dahulu, jangan-jangan, tidak sedikit pula yang tidak ngeh terhadap arti revolusi industri tadi. Itu kalau mau jujur. Apalagi kalau mesti merunut perkembangannya sejak revolusi industri di Inggris beberapa abad silam. Tanpa berpanjang soal tentang runutan tersebut, agaknya pikir dan maksudnya tidak jauh dari keinginan untuk membangun kekuatan industri nasional. Baik yang melalui penanaman modal asing (PMA) maupun yang non-PMA. Semuanya. Peta jalan untuk mewujudkan revolusi itu pun telah dipaparkan pemerintah. Empat di antara sepuluh bidang terkait yang mesti dijamah, yakni soal SDM, inovasi, teknologi, dan harmonisasi kebijakan dan peraturan, sungguh penting disimak.

Perlukah untuk itu be-revolusi? Lupakan permainan kata. Pada masa-masa pemerintah sebelumnya, keinginan membangun kekuatan industri juga ada. Berbagai kebijakan, termasuk empat bidang tersebut, juga pernah digelar. Dalam sejarah pembangunan nasional, di zaman Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), peta itu malah sudah ditetapkan sejak 1969. Bedanya bukan lewat revolusi, melainkan melalui rencana. Masa itu penetapannya bahkan oleh MPR!

Pada tahap pembangunan lima tahun yang ketiga, titik berat pembangunan mulai digeser secara bertahap ke sektor industri, di samping tetap membangun sektor pertanian yang kuat. Kisahnya, spektrum dan cakupan pembangunan industri selanjutnya ditingkatkan pada masa Repelita IV (dimulai menjelang akhir semester I dekade 1980-an) dengan titik berat pada industri alat-alat (pengolah hasil) pertanian. Demikian seterusnya dan bertahap. Namun, itu semua tinggal cerita masa lalu. Seperti halnya di masa 10 tahun pemerintah sebelum pemerintah sekarang, karena banyak sebab ataupun keadaan, pelaksanaan semua keinginan dan rencana membangun kekuatan industri, apalagi "yang benar-benar nasional" tersebut, hingga kini tetap saja belum membuahkan hasil sebagaimana diharapkan.

Jalan industri memang sudah sepantasnya diambil. Meskipun sektor pertanian tetap harus diberi prioritas (baik karena faktor ideologi, ekonomi, politik, maupun kenyataan sosiologis bahwa sebagian besar masyarakat kita hidup di sektor pertanian di perdesaan, ataupun karena cita luhur untuk memiliki ketahanan pangan yang tangguh), harus pula diterima kenyataan bahwa sektor industri memang menawarkan kesempatan dan lapangan kerja lebih luas, di tengah tuntutan pertumbuhan angkatan kerja yang ibarat lari dengan deret ukur.

Faktor dan peran teknologi

Lantas apa yang perlu dicermati dari semua itu? Pengalaman memberi pesan dan ajaran, terutama di tataran pemerintahan, tentang pentingnya kesamaan pikir sebagai landasan rencana dan gerak. Pesan dan ajaran untuk membuat desain dan rekayasa sosial guna membangun budaya industri di kalangan masyarakat. Tanpa pemahaman yang sama di segenap unsur dan lini pemerintahan tentang strategi dan kebijakan yang digelar, sulit terwujud adanya rencana dan gerak lintas sektor yang harmoni dan serentak.

Semua memegang peta jalan, tetapi berjalan dengan interpretasi sendiri-sendiri. Tidak berkait dan tidak bertemu di sasaran yang sama. Ujung-ujungnya, setiap pemerintah baru bagai harus mulai lagi dari awal. Belajar dari pengalaman pula, tidak terlalu salah kalau bidang terakhir dalam peta jalan tentang harmonisasi kebijakan dan peraturan diberi perhatian utama dan didahulukan. Demikian pula halnya di kalangan masyarakat. Dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan industri, terutama sejak "era pembangunan" yang banyak terkooptasi oleh pola pikir "trader", kehidupan industri bagai tersandera secara konseptual.

Ambillah sebagai misal peran dan fungsi teknologi, yang bukan saja sentral dalam usaha industri, melainkan acap tampil sebagai elemen kecil dalam peta jalan revolusi industri yang digelar pemerintah. Di samping dana dan tenaga kerja terlatih, membangun industri tak mungkin dengan sikap abai terhadap faktor teknologi. Di antara komponen modal lainnya, agaknya tak berlebihan menyebut teknologi sebagai faktor terpenting. Ada yang bahkan menyebut teknologi bagai nyawa industri. Makin maju, makin baik, makin efektif dan efisien teknologi yang ditemukan, makin tinggi nilainya sebagai aset usaha. Makin kuat daya saing produk yang dihadirkan, baik dalam harga maupun kualitas pemanfaatan yang dihasilkan.

Teknologi mesti dilihat sebagai sesuatu yang tidak given. Menemukan teknologi baru, atau mengembangkannya, jelas upaya yang memakan waktu yang sering tak sebentar. Juga memakan biaya, di samping kesiapan SDM yang berkualitas dan iklim yang merangsang untuk itu. Sebagai karya intelektual manusia, teknologi memang bukan barang yang jatuh dari langit. Ia lahir dan dikembangkan di tengah masyarakat yang tahu menghargai jerih payah, mengakui dan bersedia menghormati, serta mendukung perlindungan karya-karya intelektual. Pembangunan bidang SDM dalam konteks teknologi ini, seperti terpapar dalam peta jalan, baik diwaspadai kaitannya dengan aspek pendidikan, penegakan hukum, dan penumbuhan budaya industri dalam masyarakat.

Dari faktor teknologi saja dapat tertangkap banyaknya aspek yang perlu dikelola secara serentak, terencana, dan memerlukan determinasi niat, kesamaan sikap ataupun tindak. Bertahun-tahun terakhir kita bagai terbuai oleh kata dan retorika tentang inovasi. Inovasi jelas penting dan perlu. Akan tetapi, industri lebih memerlukan keberanian untuk jujur bahwa secara konkret basis yang diperlukan terutama adalah teknologi.

Tanpa makna mendewakan atau melebih-lebihkannya, perolehan teknologi, apakah melalui penciptaan, penelitian, dan pengembangan ataupun cara perolehan lainnya, menjadi inti kegiatan dan kekuatan industri. Inovasi, kosakata yang tampil dalam konteks metode, adalah berikutnya. Dalam kerangka pasar yang kian terbuka dan persaingan, faktor ini sungguh penting memperoleh perhatian. Apalagi dalam upaya menumbuhkan dan mendorong perkembangan industri awal—kecil, menengah, ataupun besar—kegiatan penemuan/penciptaan atau pengembangan teknologi yang diperlukan (meski kemungkinan ini kecil), maupun (dan apalagi) dalam proses pemilihan dan perolehannya, sesederhana apa pun, sepantasnya diberi dorongan, bimbingan, dan bantuan.

Perlu insentif yang "workable"

Dunia akademik banyak bicara tentang triple helix. Dunia pemerintahan bicara tentang sinkronisasi dan integrasi kebijakan riset—lembaga riset dan pengembangan/perguruan tinggi—industri. Wacana tentang itu bukan saja sudah lama, melainkan juga selalu berulang dan cenderung menjemukan, tetapi wujudnya hingga kini belum kunjung ada. Kebijakan demi kebijakan silih dihadirkan, tetapi perguruan tinggi yang kini memiliki banyak akses atau kemudahan mencari dana riset juga tetap berteriak tentang kesulitannya dalam memasarkan teknologi yang dihasilkan para penemu/penelitinya.

Pada saat yang sama dunia industri baru/awal, khususnya yang berskala kecil dan menengah, mengalami fenomena kesulitan bukan hanya dalam persoalan pembiayaan, melainkan juga dalam memperoleh teknologi bagi kegiatan usaha mereka. Masalah yang terakhir tak terlalu menjadi persoalan bagi industri substitusi yang sudah banyak tumbuh selama era pembangunan. Mereka sedari mula beroperasi dengan teknologi yang disediakan atau berdasar lisensi dari prinsipal.

Kalaupun revolusi industri kali ini dilaksanakan untuk membangun industri nasional yang kuat sebagai bagian dalam pembangunan ekonomi nasional (dan mesti tetap jauh dari pikiran diskriminatif sebagaimana diharamkan dalam prinsip-prinsip WTO), tetap saja yang namanya kepentingan nasional perlu arah dan bentuk pembinaan yang jelas terhadap penumbuhan dan pengembangan industri kecil dan menengah. Dalam konteks kebijakan pengaitan kegiatan penelitian dan pengembangan dengan kegiatan industri, agaknya tidak berlebihan jika arah dan lingkup kegiatan riset terapan dipertajam. Tidak sekadar kemauan, tetapi juga perlu sikap politik dan kebijakan yang jelas, bahwa riset mesti berbasis industri, diarahkan agar berorientasi kebutuhan nyata dan kemampuan industri. Hanya dengan demikian sinergi dapat terwujud, dan temuan teknologi hasil riset atau pengembangannya akan diserap industri.

Skim insentif perpajakan bagi pendanaan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi yang selama ini diintroduksi dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2007, tetapi kabarnya tak dapat berjalan efektif, dan sebaiknya disempurnakan. Konsep keringanan perpajakan tampaknya perlu diperjelas pengaitannya terhadap perundangan perpajakan. Tak akan sederhana karena selain kejelasan apakah ide itu dapat dibaca jelas dari rumusan bahasa dalam peraturan perundang-undangan perpajakan, PP itu pun juga terkendala oleh soal psikologis, baik dalam teknik perundangan maupun perangai birokrasi. PP ini turunan dari UU Nomor 8 Tahun 2002 tentang Sisnas Litbang dan Penerapan Iptek, yang bagi aparat pajak, dirasa jauh dari UU yang menjadi gantungan kerja mereka.

Tak hanya sekitar kegiatan riset, jangan-jangan masalah juga menghantui aspek pembiayaan usaha industri itu sendiri. Bersediakah perbankan membantu pembiayaan usaha industri awal atau start up? Mau dan mampukah usaha modal ventura umum membantu usaha industri awal yang belum pasti keberhasilannya? Diperlukan dorongan dan bantuan bagi pemupukan modal, termasuk skim insentif bagi pembentukan dan pembiayaan usaha agar modal ventura (khususnya di lingkungan perguruan tinggi yang tinggi produktivitas litbangnya) dapat dibentuk di dekat usaha industri awal tadi.

Hal ini penting karena upaya penumbuhan industri berbasis teknologi yang baru tak hanya berhenti sebatas permodalan usaha, tetapi juga dalam bantuan teknis manajemen produksi dan pemasaran. Bukankah sesuai khitahnya, tiga bidang bantuan tadi yang sejatinya memang tujuan pembentukan, sifat usaha, dan lingkup kerja sebuah modal ventura?

Sekali lagi, gambaran kecil sekitar isu teknologi ini merangkum keterkaitan di hampir semua elemen dalam peta jalan: penyiapan SDM termasuk sistem hak kekayaan intelektual (HKI) bagi penciptaan iklim penemuan/penciptaan teknologi (dan karya-karya intelektual lain) yang lebih kondusif, pendidikan HKI guna pembangunan SDM yang mumpuni dalam pengelolaan dan perlindungan teknologi dan HKI pada umumnya, pengembangan kemampuan pengenalan-penguasaan-pengembangan dan penerapan teknologi, sistem pembiayaan dan insentif, di samping pembangunan kekuatan pendukung lain, termasuk penumbuhan budaya industri.

Di era pemerintahan yang sedari awal menjanjikan basis SDM yang berkualitas dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai paradigma, upaya membangun kisaran sekitar teknologi tersebut sesungguhnya memperoleh momentum. Sungguh bagus apabila benar-benar tahu dan berniat memanfaatkannya.